Malam seperti bubuk mesiu, menerjang segala insan tanpa pandang suku, menghantam kesadaran seakan ini adalah mula kelabu. Sederet kisah, sejumput cerita, yang pada akhirnya bermuara derit nafas penuh kisah pilu.
Dari ujung senja hingga pagi buta, di antara belantara hayal dan mimpi belaka, tangan-tangan mungil memegang pelita hingga menggigil aliran darah, mata terpejam tapi pikir entah kemana. Dari singgasana tuan kaya, dari gubuk reot abdi jelata, yang nyata dan apa adanya, yang tertawa dan menangis seperti kisah para pemohon sukarela.
Wahai para dewi pengasuh rembulan, wahai para tetua pemegang gulungan mantra, mengapa membiarkan pikir ini sesat engkau biarkan, mengapa mengalirnya udara malam engkau jadikan rujukan.
Jika bukan kehendak malam, jika bukan karena tangis dewi kahyangan, ingin ku buang segala hayal diawal kejadian, agar segala kisah adalah kepastian.
*****
Baganbatu,januariÂ
2022Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H