Di awal pertemuan, jarak Jakarta-Madiun hanya sekedipan mata
Tiada ruang tersisa, kecuali bunga dan berbunga
Kini, ketika musim penghujan hendak berganti, pohon randu menjentikan daunya hingga tak tersisa, tersiksakah hubungan ini melampaui waktu? atau engkau dan aku telah membatu menunggui rindu. Sebuah pengakuan tak wajar, tatkalah kita pernah berjanji dan bersumpah bak orang terpelajar, " jarak dan waktu hanya permainan".
Rasionalitas kita ternyata serapuh kerupuk tersentuh air panas, gagah ketika mengucap sumpah, kemudian menyerah di mangsa gemuruh dada. Inikah tipu muslihat rasa? datang dan pergi seumpama angin malam meniupkan kabar. Porak-poranda pertahanan nalar.
Ternyata rindu lebih cepat dari laju cahaya, menerobos akal sehat hingga sekarat, menumbangkan segala pertimbangan manusia cerdas. Kita harus mengakui, kita telah kalah di belenggu hasrat. Jakarta-Madiun ternyata mengular seribu kali lipat. Dan kita tercecer di antara kota kecil, gubuk reot, hamparan sawah, pom bensin, atau perempatan lampu merah.
Kita belum kalah, hanya jiwa-raga kita menanggung derita.
#######
Baganbatu, awal oktober 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H