Mohon tunggu...
Kang Marakara
Kang Marakara Mohon Tunggu... Pengangguran Terselubung

Belajar dan mengamalkan.hinalah aku,bila itu membuatmu bahagia.aku tidak hidup dari puja-pujimu

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi: Banjir

11 Februari 2021   06:57 Diperbarui: 11 Februari 2021   07:07 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Air mengalir. Terhenti di cekungan bumi, cawan semesta penuh oleh tangis. Air mata bercampur harap, tangan menggapai mencari rakit.

Tercurah. Tertumpah. Tergenang. Kemana-mana di pagari tembok bangunan, kaki-kaki pohon tak lagi merayu menawarkan persinggahan. Hanya bonsai di dalam kantung plastik.

Kemana harus mengalir? Jalan semenjak nenek moyang berubah takdir. Tangan-tangan pintar penyebab air tak mampu lagi berpikir. " aku menghuni bumi jutaan tahun sebelum manusia menghuni. Semenjak terusir dari mars dan bulan, hanya di sini aku menemukan kekasih".

Siapa yang merubah rawa jadi permukiman?

Siapa menjadikan hutan sebagai ladang metropolitan.

Itu tempat air menari dan bernyanyi sepanjang zaman.

*****

Baganbatu, februari 2021

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun