Pagi ini, di sebuah gerbong lokomotif bermesin uap, ku pegang tanganmu yang menggeletar penuh cemas. Lokomotif merayap pelan, seakan memberi kesempatan hatiku merayu gelisahmu.
Rukmini, di pagi desember 1952. Dalam remang menuju gelap suasana, ku peluk ragamu yang tak tahu hendak kemana. Memasrahkan nasip kepada lekaki asing tak bernama, menyandarkan masa depan di pundak lelaki tak berwajah.
"Tapi aku punya cinta", begitu ku bisikan ketelingamu dengan segera. Di antara deru mesin uap yang menghebat, detak jantungmu seakan mendobrak. Teringat wajah biyung di ujung ingat, suasana gemuruh membenturkan tekad antara bakti dan cinta. Saling mengikat.
Entah sudah berapa lama perjalanan ini berkutat, ku tahu batinmu tengah berlari cepat. Gunung, sungai, ngarai, orang-orangan sawah, semua mengucapkan selamat tinggal.
" Rukmini, takdirmu harus kau cari".
****
Baganbatu, desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H