Pukul 18.47 wib. "Kang jemput aku esok pagi. Jangan lupa pangkas rambutmu, sisir rapi seperti ketika engkau mengecup keningku dulu."
Aku terpana. Kegirangan melebihi anak panah menemukan busurnya, kebahagiaan ketika matahari di jamu senja. Indah berbung-bunga, merdu melebihi nyanyian dewi nirwana. Meloncat, berjingkrak, bergulingan menjelajah kamar.
Rindu yang meluap, penantian setelah menunggu pemberitahuan rembulan, dan dering telepon ini mengakhiri kegelisahan. Kekasihku pulang, seharusnya kalimat itu jadi judul kebahagiaan.
Rambutku. Panjang melebihi jembatan layang, kumal tak pernah di siram, hitam bercampur arang, panjang mengikat hati dari penghianatan. Seperti janjiku, seperti sumpahku, tak ku potong rambutku, tak kusisir rambutku. Hingga kepulanganmu, sampai hatimu mengetuk kembali rasa rinduku.
Gunting, di mana gunting. Sekian waktu tak ku anggap penting, sekian lama turut tersiksa seperti tak berguna. Berdebu di bungkus waktu, berkarat padahal setianya telah tersurat.
Pukul 23.16 wib. Tukang cukur satu-satunya telah mati, patah hati setiap kali menemukan rambutku mencuri mimpi. Ia mati perlahan,  tanganya menjulur panjang  ke lantai kamar. Mengelus rambut ku yang kumal, mulutnya masih membacakan mantra agar hatiku mampu ia tundukan. Tapi sumpahku mengalahkan, janjiku menantang setiap siluman yang di kirimkan. Aku memang lelaki pemuja kesetiaan, bukan mata keranjang, bukan pemakan tiang jemuran.
Gunting hilang, tukang cukur telah di kebumikan. Berjalan perlahan, mondar-mandir antara tempat tidur dan pertokoan, berharap menemukan pewaris tunggal tukang cukur di emperan.
Pukul 03.11 wib. Kokok ayam jantan menjadikanku kesetanan. Gelisah semakin menjadi, manakala rembulan merangkak naik menuju pembaringan. Bukan takut kereta malam terlambat seperti kebiasaan, bukan khawatir kekasihku membeku di stasiun Ajibarang. Rambutku! Belum di cukur belum di rapikan.
"Tuhan, jika aku harus mati, matikanlah aku dengan rambut rapi. Jika Engkau mengaruniahi umur panjang, ijinkan aku menemui kekasih, mudahkan jalanku menyambut dirinya kembali. Satu pintaku lagi, berilah kemudahan mencukur rambut di dini hari."
Pukul 06.01 wib. Aku berdiri rapi, bagai prajurit menantikan sang petinggi. Baju terbaik yang ku punya, celana model baggy sejengkal dari mata kaki, sandal kulit imitasi seharga enam puluh ribu rupiah. Minyak wangi ku gunakan untuk mandi, aroma kenanga, melati, cendana hingga kasturi. Relaksasi.
Dag dig dug jantungku berkecepatan tinggi. Semakin tinggi, bahkan kencang sekali. Ketika kereta malam memasuki peron kedatangan, setiap gerbong menampakan wajah kebahagiaan. "mana kekasihku?"