Di belantara atau di luasnya samudera, di kecamuk perang atau panggung pertunjukan, ku cari namamu di papan pengumuman, ku cari senyumu di antara belantara keikhlasan. Tak jua ku temukan, tak jua ku dapatkan. Dua bening bola matamu, lesung pipit penghilang jemu, seakan hilang di telan waktu, seakan raib bersama awuhe watu.
Para dewi hilir mudik dalam bayangan, meniti pelangi bertahtah intan berlian, mandi pancuran tujuh berair berkilauan, senyum berkumandang, tawa memerdukan. Tak satupun mampu menandingi kilau suci, tak mampu mengganti rasa di hati.
Selasa legi dalam penanggalan para pendamba hati, hitungan laku hendak menemukan kisah sejati, memuncaki penalaran tentang perjamuan para peri. Mungkinkah mahligai tinggi hendak ku temukan? Bila pancaran bintang sebagai pedoman belum jua berkumandang.
Dupa dan sesaji telah di haturkan, menjadi perantara keinginan hati yang enggan meniadakan. "Wahai dewi jelita kekasih hati, dari tempatmu bertahtah di ketinggian nirwana. Jenguklah sukmaku yang merana, terombang-ambing di permainkan rasa, berulang kali tertipu setan bermahkota."
Dengarku, dengarmu, kita berbicara.
Lusinan kata mantra pembuka wahana
Silangku, silangmu, kita menajamkan rasa
Alam dunia, alam nirwana, tak berjarak tak berbatas adanya.
 Bagan batu, juni 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H