Simpang Sambu dua tahun lalu. Tatkala gerimis membanjiri bianglala, sungai Deli mengalir pelan menuju Belawan, membawa serta kisah ini hingga mencemari muara, menciptakan kepanikan tak terkira, menimbulkan guncangan rongga dada. Seduh-sedan yang membasahi peristiwa, menghancurkan bangunan indah bertiang sumpah setia.
Aku marah! Ku pecahkan dinding cakrawala, ku bakar mentari hingga menghanguskan segala daya, ku ciptakan gempa agar semua merasakan sesaknya dada. Kecewaku, marahku, putus asaku, semua karenamu, Nora.
Sejak dulu kita bersama, aku anak Tanah Jawa, engkau pula boru Simalungun dari Sipispis sana. Â Di Siantar kita sekolah di SMEA Pembina, hingga kuliah di Universitas Muhamadiyah Sumatera Utara. Semua terekam tanpa terlewatkan, terawat indah dalam ingatan, menyeruak manja setiap mimpi tidur malam
Engkau ingat sumpah setimu, Nora?
Engkau ingat kita kan bersama selamanya, Nora?
Engkau ingat kita tak kan terpisah meskipun dunia terbelah dua?
Engkau ingat tatkalah ku kecup keningmu di malam perpisahan SMEA?
Engkau menangis, itu karena bahagia, akumu. Engkau memeluku, karena takut kehilanganku, ucapmu.
Tapi kemudian engkau tikamkan janji pada setiaku, engkau cabik-cabik pengharapan yang tumbuh melebihi kemampunku. Engkau iris penantian sekian waktu untuk memiliki nyatamu.
"Bang. Nora tak mampu lagi mengiringi langkahmu, Nora tak kan bisa mewujudkan sejuta janji. Nora tak kan bisa memiliki seutuhnya hatimu. Maafkan Nora."
Aku linglung, tak tahu kemana jalan menuju hatimu, tak tahu jawaban apa atas sikapmu, tak tahu mengapa kenyataan tiba-tiba menikamku. Gelap terasa pandangan, tuli terasa pendengaran, detak jantungku terasa berhenti mensuplai darah ke pikiran. Kosong hilang ingatan, selain kesedihan.