Di serambi depan rumah yang baru kami tempati, dua ekor anak kucing bekejaran mempermainkan seekor cicak yang tengah bernasip malang. Nasipnya terombang-ambing di permainkan keadaan, entah apa kesudahan dari petaka yang harus di tanggung kemudian.
Entah mengapa, aku merasa senasip dengan cicak yang malang itu. Tapi bukan dua ekor anak kucing yang mempermainkan nasip hidupku, tapi mendengar pembicaraan anak gadisku dengan temanya yang datang mengajak shalat tarawih sore tadi.
"Nissa, jangan bilang bajumu hanya yang warna merah dan hijau itu. Aku sudah di belikan baju baru. Mukena untuk shalat idul fitri pun besok hendak di belikan bapaku."
Anak gadisku hanya tersenyum mendengar omongan temanya. Tapi sekali ini terasa ada yang lain di senyumanya. Entah pandangan mataku yang hendak menipu, atau perasaan hatiku sekali ini mulai merayu. Sulit aku memaknai senyum manis anak gadisku, padahal senyum seperti ini adalah ciri khasnya. Di keluarga kami tidak di kenal tradisi membeli baju baru setiap lebaran datang. Kami hanya membeli baju baru bila di pastikan baju yang lama sudah tidak layak pakai lagi. Entah ukuranya yang telah kekecilan, atau karena bahan kainya yang mulai rapuh seiring waktu pemakaian.
Sudah sekitar tiga puluh tahun aku dan istriku berumah tangga, kebiasaan seperti ini tetap kami pelihara, mulai anak satu hingga anak tujuh, mulai anak-anak masih kecil hingga sekarang sudah punya cucu. Lebaran tetap tanpa baju baru.
         >>>>>>>>>>........
Pagi ini, 29 Â ramadhan dalam penanggalan hijriah, aku berkesempatan mengobrol dengan anak gadisku khairunissa atau Nissa. Ini luar biasa, karena hampir setahun ini aku benar-benar tidak punya waktu untuk sekedar ngobrol seperti dulu. Tuhan ternyata punya rencana, Tuhan seakan-akan hendak menunjukan kemaha kuasa-NYA.
"Nak,... apakah engkau tidak ingin membeli baju baru di lebaran nanti? Setidaknya, teman-temanmu tidak mengolok-olok dirimu yang bajunya tetap itu-itu saja." Pancingku membuka tanya.
"Tidak Pak, baju lama Nissa masih layak pakai. Lagipula lebaran kan tidak harus berbaju baru." Datar dan ringan suara jawaban anak gadisku, seakan tiada beban di dalam pikiranya.
"Tapi kamu sekarang sudah remaja, biasanya anak seusiamu sedang senang-senangnya berdandan. Nanti kamu malu di bilang ketinggalan zaman."
"Mengapa harus malu, Pak? Bukankah idul fitri adalah saatnya kita menemukan kesadaran tertinggi setelah berpuasa sebulan penuh. Seperti yang bapak kisahkan sejak Nissa kecil dulu, Rasulullah manusia paling mulia, menyambut dan mengisi hari raya Idul fitri dengan memperbanyak ibadah, memperbanyak sedekah."
Ah, ternyata anak gadisku telah paham apa itu idul fitri, dan bagaimana caranya mengisi kemenangan dengan segala hal yang bisa meningkatkan ketaqwaan kepada sang pemilik kehidupan.
"Kamu mantab untuk tidak memakai baju baru lebaran ini?" tanyaku untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa anak gadisku memang bersungguh-sungguh.
"Nissa kan anak Bapak. Nissa ingin menjadi remaja yang beriman. Bukankah salah satu golongan yang akan mendapat naungan di hari kiamat nanti adalah remaja yang tetap teguh dalam keimananya." Tegas, mantab, tanpa perlu keraguan terpanca dari pancaran matanya.
"Ya ALLAH tuhan yang maha menentukan. Yang telah menitipkan jiwa-jiwa penuh istiqamah dan pemahaman tentang makna ibadah. Engkau telah memberi petunjuk kepda anak-anaku tentang arti idul fitri, Engkau telah memberi jalan terang bagaimana seharusnya kemenangan itu di rayakan. Puji syukur atas segala limpahan rahmat-MU."
Bagan batu, akhir ramadhan 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H