Tiba-tiba aku membenci kata-kata, ku pangkas tunas aksara yang hendak berkecambah, ku tuang habis titik dan koma dari isi kepala, ku paksa pergi segala diksi yang sering merasuk ke alam mimpi.
Tinggal hayalan yang tak mau pergi, dengan wajah memelas ia bersimpu mengharap dispensasi, ia berjanji akan pergi jika aku menuliskan sebait puisi. Tentang apa saja, dengan gaya sukarela, di antas lontar atau tanah, bertinta misik atau jelaga. Menangis ia dengan air mata menggenangi rasa.
Aku tepedaya. Ketika "iya" membasahi lidah. Datang aksara mendongak di balik jendela, titik dan koma berlari kembali mengetuk pintu rumah, diksi ternyata telah bergelayut manja di laci meja. Tersenyum padaku, dengan binar mata mengandung haru.
Kini kami makan bersama, tidur di atas selembar kanvas bertuliskan sejuta puisi. Tentang cinta, patah hati, tentang senja, tentang segala peristiwa yang mengilhami.
Bagan batu, mei 2020Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H