Tertinggal sendirian, luasnya ladang jadi penghalang, angin sering menyapa datang dengan ejekan, kadang dari tenggara, kadang dari selatan. Menerbangkan angan ketika masih bersama, bercerita tentang butir jagung yang akan di panen bila saatnya tiba. Ini cerita lama.
Kini meratap di bawah langit malam, menggigil dalam diam, berteriak tapi rumput liar mulai menghadang, ciptakan barikade atas nama siklus kehidupan. Meratap sejadi-jadinya, meneteskan air mata segera hilang di telan serangga liar.Â
"Kemana mereka kini. Saudara dan teman tempat berbagi tetesan embun." Bisik lirih anak ilalang menambah pedih perasaan. Satu dua daun mulai mengering termakan kutukan, akar meronta menagih janji kapan naik ke nirwana. Sementara perasaan tengah terguncang oleh kenyataan, tertinggal sendirian dalam keterasingan yang membingungkan.
"Tinggalah untuk sebentar lagi." Tapi itu mustahil. Takdirnya telah menentukan, catatan musim telahmenuliskan. Siapa tertinggal kan menyatu dengan gulma menakutkan, siapa lengah dari mengemas perbekalan pasti tercecer dari kepastian akhir. Sendiri itu menakuktkan, tak berteman itu meragukan.
Bagan batu, April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H