Coba menoleh kebelakang. Pohon randu yang dulu penuh paku sendu, barisan kembang kertas terus berkibar seiring angin yang berputar. Kini telah tiada, hilang seiring jauhnya perjalanan kaki menapaki cakrawala. Berganti dengan tiang jemuran berisi kaus kaki dan pakaian bayi, kembang randu yang berguguran berganti dengan warna-warni bungkus jajanan, asap yang membumbung mana bisa menarik kupu dan kumbang berdendang. Raib dalam dekapan waktu silih berganti, tenggelam oleh tetes air hujan yang terasa lebih asam. Kembang randu penuh rindu, kembang kertas yang melambai mengucapkan selamat tinggal.
Sejenak menata ruang hayalan. Kan ku dirikan prasasti besar dari tumpukan koran, kan ku pagar dengan pidato para pembesar yang berkobar. Heroik dalam penyampaian, menggelegar membakar nalar dan naluri akan kemakmuran. Selebihnya hanya teori kemuflase kekuasaan, penuh janji bergerigi yang diam-diam menghujam pedih.
Kini terbukti dalam babad prasangka kadaluarsa, menoleh penuh cela meniadakan pemenuhan amanah. Entah terlupa karena nikmatnya kursi kuasa, entah tak berdaya karena balas budi adalah sifat ksatria, singgasana itu terkurung lukisan abstrak bercat darah.
Menolehlah sesekali. Agar engkau jumpai capung berkaki baja masih menari. Di dahan pohon randu khayalan, di ranting kembang kertas yang tercabut dari impian. Setengah pedih jika engkau mengerti, setengah malu bila benar perasaanmu peka seperti dulu.
Menolehlah terakhir kali! Agar sejarah mencatatmu dalam larik puisi imajinasi, di muat kran yang alhirnya menjadi bungkus gorengan, mendadak viral tapi akhirnya hanya penghuni kuburan ingatan. Menolehlah jika dirimu sempat. Hari ini tutup buku pohon randu.
Bagan batu, April 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H