"Bu, aku mau makan."
"Sebentar lagi."
"Pak, aku mau makan."
"Ambil sendiri."
"Bu, mana nasi?"
"Singkong dan ubi."
"pak, lauk-pauknya mana?"
"Garam dan terasi."
"Pak-Bu. Perutku merintih."
"Sabar, ini zaman pandemi."
Tubuh-tubuh kurang gizi sebentar lagi, generasi serba instan di paksa berdikari. Pamer status cuman modal terasi, wajah tirus merenungkan kuota internet tahan sehari.
"Bu, pulsaku habis."
"Ambil di laci."
"Pak, beli kwaci."
"gaji bapak di potong lagi."
Gonjang-ganjing nalar si manja, jumpalitan menyentuh awan suara raungan. Tak mengerti wabah tengah memburu, tak peduli bila esok kiamat dunia.
"Bu, bosan di rumah."
"Pergilah mengaji."
"Sejak kapan?"
"Sejak virus menjangkiti."
Sepi merenung menangisi situasi. Berdiam diri menatap cermin setiap hari. Jerawat mulai bermunculan, uban di kepala mulai kelihatan, keriput kulit wajah sebagai hiasan.
"Baru satu bulan."
"bukan! 29 hari lebih 24 jam."
"Pak, Bu. Aku mau jajan."
"Tunggu hujan uang!"
"Kapan?"
"Tunggu topan memindahkan gunung berlian."
Menunggu hingga genting rumah berjatuhan, menanti hingga berhari-hari lupa mandi. Mengunci diri di depan tv, berdiri mondar-mandir seperti sapu lidi.
Bagan batu, april 2020