Jalan berdebu telah di renangi, sungai bertabur mercury di hisap habis semenjak pagi, tanpa alas kaki menapaki batu berduri . Terasa lepas persendian, terasa copot biji mata menggelinding mendahului penglihatan. Panas atau perih silih berganti, hujan keringat hingga hujan air mata hampir sulit di mengerti.
Lelaki itu mengucapkan salam dengan suara perlahan, mengetuk setiap benda berbentuk pintu, menyodorkan sebentuk hati agar di kasihani. "Tuan, beri kesepuluh jariku lecutan cemeti berkait besi." Pinta yang tiada mengada-ada, masih biasa ketika matahari hampir sejengkal di ujung kepala.
Tujuh belas anak lintah terpanggang matahari, menggeliat tertahan berbantal aspal mendidih, berkeluh kesah menertawakan sesama, memonyongkan bibir berharap lelaki itu mendonorkan darahnya. Secangkir darah merah siap di hidangkan, sekantung keikhlasan siap di pasrahkan. "Hisap darahku seberapa maumu, hisap habis hingga tak tersisa penderitaanku." Kenang lelaki itu pelan.
Tubuh kurus berkulit kusam bagai guntingan koran, bertulang patah-patah menggendong sekantung tanda tangan para penguasa. Jalanya telah gemetar, kakinya hampir berwujud cakar, dadanya berlubang bekas tembakan penghormatan. Kepalanya hingga wajah di tutupi kerubutan media massa, selebihnya adalah manusia biasa.
"Jangan pandang wajahku! Jangan maknai kata-kataku." Kejujuran di hadapan kepalsuan, kerendahan ketika makhluk hina berlomba-lomba. Menyombongkan situasi. Corona itu senyuman matahari yang salah arti.
Bagan batu, april 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H