Menemani di cangkir kopi terakhir. Mengaduk-aduk perasaan yang berjumpalitan. Pahit terasa di lidah hingga rongga dada, manis menguap bersama aroma berita memenuhi media.
Aku suka pahit! Tapi anak kecilku membenci kepahitan. Berkali-kali kopiku tumpah mengotori meja, ampas hitam sisa pembakaran pikiran berceceran. Anaku kelaparan di tengah corona. Pahit memang.
Ini kopiku terakhir. Mungkin esok aku akan memeriksa takdir. Masih pahitkah kenyataan? Atau telah manis dengan sisa gula hutang dari tetangga. Beginilah kenyataan yang ada.
Terpaksa ku buka jendela. Padahal angin telah memperingatkan "waspada!" aroma pekat ampas kopi agar segera hilang, kepahitan yang keterlaluan segera terbang. Kemana? Tetanggaku menjerit ketakutan.
Mengalir menyusuri pembulu darah, berputar dan mendaki hingga menyentuh isi kepala. Kopi pahit hendak berubah menjadi pertahanan semesta.untuk apa? Tanya kekebalan tubuh curiga.
Cangkir kopi terakhir, gula terakhir yang tak terbeli. Kepahitan selalu mengikuti. Meja kotor anaku kelaparan. "pahit itu seringkali menyehatkan!" Bisik lirih istri dua hari tak bisa mandi. Pulsa listrik tak terbeli! Pahiiiiit sekali.
Bagan batu, 29 maret 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H