Aku bertanya sekaligus hendak menutupi rasa maluku yang terbongkar segala aib sejarah keberanianku.
"Aku yang menemani kelahiran Munir, aku yang mengasuhnya hingga ia dewasa, bahkan aku adalah satu-satunya yang mendampingi ketika tangan maut merenggut hendak memisahkan jiwa penuh keberanian dengan jasad kasar. Aku menyaksikan semua."
"Haa! Anda tahu siapa yang menyebabkan kematian Munir? Mengapa anda menghilang, mengapa anda tidak membukanya di depan publik."
Keterkejutanku kali ini bukan alang-kepalang. Orang di depanku ini mengaku tahu segala hal tentang Munir, bahkan saat-saat kematianya. Sebuah informasi maha penting yang di tunggu-tunggu jutaan orang di republik ini.
"Engkau bersedia menjadi pembuka tabir misteri kematian munir?"
Tawaran yang mengejutkan tapi juga menggiurkan. Terbayang di benaku gambaran ketenaran dan popularitas yang bisa ku raih dalam waktu singkat berkat menguasai informasi tentang munir. Tapi tunggu dulu!
Bagaimana dengan orang-orang yang merasa kedoknya akan terbongkar berkat kesaksianku nanti, apakah mereka akan berdiam diri begitu saja aibnya ku beberkan di depan halayak ramai? Mereka pasti akan bereaksi, dan mereka ini pasti orang-orang yang punya power secara politk dan kekuasaan. Bagaimana dengan keluargaku, istriku, anak-anaku. Bgaimana bila aku akan mengalami nasip yang sama seperti Munir?
"Sudah ku duga. Engkau hanya pecundang yang bertopeng keberanian."
Aku hendak menjelaskan alasanku, tapi sosok misterius itu seperti tahu seluruh jalan pikiranku.
"Menyedihkan!" gumamnya sebelum sosoknya hilang di telan angin malam