Senja tatkala kemuningnya menerpa jiwa, seorang lelaki berwajah sumringah berjalan tergesa. Ada bayangan celoteh di rumah kecil menantinya, atau malah penantian sesuap nasi menambah riuh suasana. Lelaki itu melangkah bagai tak menginjak tanah, bahkan bayanganya mendahului hasratnya segera berlabuh menuang asa.
Senja tersenyum mengantarkan girang hati lelaki itu, uang 50000 seolah ajimat pembawa berkah  tak terhingga. Mulut-mulut kecil tubuh yang menggigil, sorot mata sayu hampir layu seharian tak menelan sesuatu, seakan barisan kesengsaraan berkalung kepedihan
Gubug reot berisi jiwa yang masih polos, menatap bayangan sang lelaki bagai menang lotere,"itu ayah, itu ayah kita," suara bersahutan lemah hampir tak terdengar. Tapi bagi lelaki itu, suara itu bagai gemuruh yang hampir-hampir  menjebol perasaan, mengaduk-aduk jiwa yang seharian menyabung nyawa
Senja segera berlalu, di pandangi gubug reot berisi tubuh-tubuh baru terisi nutrisi, wajah-wajah layu yang sedikit bersinar setelah seharian menanggung lapar, 50000 di bagi delapan suapan, setidaknya mampu sedikit menidurkan harapan bersama malam
Senja dan lelaki itu saling berpamitan, ingin rasanya cukup sekali ini menyaksikan, tubuh-tubuh kurus bergelimpangan memimpikan hidangan. Lelaki itu menyembunyikan sebutir nasi sebagai bekal, esok pagi kan mengarungi nasip di belantara kehidupan
Bagan batu 14 oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H