"apa abah nak menjodohkan anak kita dengan si Hasan tukang jahit baju langganan abah itu"
"anak wak Damar sebentar lagi sarjana,ustadz pula.apa abah tak bangga punya menantu sudah ustadz sarjana pula,siapa yang nak meneruskan nama baik abah sebagai sesepuh desa"
itulah perdebatan mak Lailah dengan abah Muchsin 4 hari yang lalu.sore ini,keluarga abah mengundang wak Damar sekeluarga makan berbuka puasa bersama di rumah.
seperti yang ada di pikiran abah Muchsin,istrinya pasti over acting selama jamuan buka puasa.seperti anak gadis yang sedang di landa rindu dengan kekasihnya,mak Laila ingin mengesankan diri sebagai seorang ibu yang pandai mendidik anak gadisnya.
sudah dua hari ini sejak jamuan makan dengan keluarga wak Damar berlalu,baik abah Muchsin maupun Ningrum gelisah melihat gelagat dan tingkah mak Lailah.pagi termenung di depan jendela,siang menjelang terdiam di dalam kamar saja,bila senja tiba,mak Laila baru beranjak hendak membasuh muka
"sudahlah mak,kalau memang tak berjodoh dengan anak kita,itu sudah takdir.apa emak tak takut melawan kehendak yang kuasa"
berbusa busa abah Muchsin merayu istrinya,kabar bahwa anak wak Damar hendak tunangan dengan anak gadis pejabat departemen agama benar benar memukul batinya.
'anak gadis kita hanya seorang,apa emak rela melihatnya sengsara setelah berumah tangga.ini semua adalah petunjuk dari yang maha kuasa,semoga anak kita menemukan jodoh terbaiknya"
abah Muchsin paham benar,mak Laila paling sayang dengan anak gadisnya.tapi jodoh bukan urusan manusia,sudah ada yang lebih berhak mengaturnya.
wajah mak Lailah mulai di hiasi senyum,pertanda hatinya sudah mulai berubah.abah Muchsin pun tersenyum cerah,teringat kopiah baru pemberian Hasan tukang jahit langgananya.
"mungkin ini pertanda baik untuk anak gadisku" gumam hati abah Muchsin.