Ku pikul pulang barang daganganku.lemas lunglai seluruh tubuh dan pikiranku.
Terbayang di pelupuk mata,ke enam anaku,entah apa,yang di makan seharian ini,untuk pengganjal lapar.
Dari jauh mulai terlihat atap reot gubuk kecilku.sekecil hatiku,pulang tanpa membawa uang,ber arti hari ini keluargaku tak makan.
"Bapak pulang".....terdengar riang teriakan anak bungsuku,seriang harapan mereka untuk segera makan.
Ku letakan pelan pikulan yang sedari tadi manja bergelayut di pundaku
"Bagaimana kang... laku daganganya?"tetap terdengar lembut suara tanya dari istriku,walau cemas tak mampu menipuku
"Sekarang lagi sepi bu,orang orang tak mau lagi masak pakai tungku,kuno katanya.mereka lebih suka pakai kompor gas,lebih irit katanya" jawabku.menambah kecut rasa hatiku
Istriku tersenyum,senyum yang makin menambah rasa bersalahku.lelaki macam apa aku ini,punya keluarga tapi tak mampu menafkahi
"Pak,kita makan apa hari ini?"tanya anak gadisku,sambil meletakan segelas air putih di depanku.
Ku pandang anak gadisku,remaja yang mulai tumbuh dewasa,dia pasti sudah lebih paham keadaan keluarganya,di banding adik adiknya
"Iya pak,tadi adik hafiz menumpahkan beras yang hendak di masak ibu,jadi ibu nggak bisa masak"terang anak lelakiku.
Belum masak,berarti anak anaku belum makan satu hari ini.makin kalut rasa di hatiku
Ku rogoh saku celana kerjaku,dengan setengah ragu,ku keluarkan benda berwarna coklat dan ku angsurkan kepada istriku
"Apa ini kang?,punya siapa ini kang?, darimana akang menemukanya?"berondongan pertanyaan dari istriku,membuat aku gugup gelagapan
"Aku menemukanya di jalan,bu,tidak ada orang yang lewat lagi atau datang mencarinya,setelah ku tunggu tidak ada yang datang mencari, akhirnya ku bawa pulang"jawabku berusaha meyakinkan
"Tapi ini bukan milik kita kang,kita tak berhak memakainya"potong istriku
Aku tak mampu menjawab.ku pandangi satu persatu wajah wajah polos anak anaku.wajah yang ingin segera makan,karena perut sudah merintih kelaparan
"Coba periksa isinya kang,mana tahu ada surat atau tanda pengenal di dalamnya?"suara istriku bagai perintah yang tak mungkin aku bantah
Dengan perlahan dan hati hati, ku buka dompet warna coklat yang ku temukan tadi
Astaga...isinya berlembar lembar uang kertas seratus ribuan,uang sebanyak itu belum pernah kami miliki,bahkan untuk menghayalkanyapun kami tak berani
"Tidak ada surat apa apa di dalamnya,hanya uang ini yang ada"tercekat suaraku ketika bicara,membayangkan lapar perut anak anaku
"Tapi ini bukan uang kita kang,kita tak boleh memakainya,biarlah kita miskin dan kelaparan,tapi kita tak pernah mencuri hak orang"suara istriku yang berubah tegas,seakan tahu isi jalan pikiranku
Ada perang dahsyat dalam jiwaku,perang yang belum petnah terjadi seumur hidupku.
Antara keinginan untuk memberi makan tubuh tubuh kurus anak anaku,dengan keyakinan bahwa memakan hak orang lain adalah melukai harga diri
Kami semua terdiam,bahkan lapar yang merintih sudah tak kami rasakan,pikiranku dan pikiran istri dan anaku hanya tertuju,siapakah pemilik dompet itu
Bagan batu 19 pebruari 2019
Nb :untuk yang terkasih,istri dan anaku.harga diri jangan samPai tergadai oleh dunia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H