Beberapa hari yang lalu, yaitu pada hari selasa sore, saya dihubungi via BBM oleh seseorang yang selalu memanggil saya ayah sejak dia menjadi Ibu dari Zie, anak saya yang molek itu. Dia lalu bilang kalau Kakang, begitu Zie dipanggil sekarang, bikin "ulah" (lagi). Duh!
Kolam, tempat dimana air ledeng ditampung untuk lalu dipakai minum, mandi, dan keperluan rumah tangga lainnya, ditumpahi sabun yang biasa digunakan buat ngerendem pakaian kotor. Dan bukan kebetulan kalau di dalam kolam juga ada beberapa ekor ikan yang dibiarkan hidup di situ sebagai tindakan preventif demi menghindarkan keluarga kami dari gigitan para penghisap darah sialan, yang ketika bayi dikasih nama jentik.
Menurut informasi yang saya dapat dari si Bunda yang istri saya, tatkala mengetahui kejadian itu, sontak semua bergerak cepat untuk melakukan operasi penyelamatan terhadap para ikan dengan kode #SNI (Save Nyawa Ikan), yang dikomandoi oleh Umi, sebagai sosok yang bertanggung jawab atas segala urusan ke-rumahtangga-an di rumah itu. Jika kamu mengira Umi itu panggilan untuk istri saya, maka kamu salah. Makanya jangan sok tahu kaya Google, sebab hanya Allah Yang Maha Tahu. Nah Umi itu adalah sebutan kami untuk Ibu dari Ibu nya Zie. Saya tahu apa yang kamu pikirkan. Pasti kamu kepo kan dengan penggunaan sebutan Umi? Kenapa engga disebut Nenek saja, atau Oma, atau Nini? Begitu pikirmu bukan? Saya pun demikian pada awalnya. Tapi, sudahlah, tak perlu dibahas lebih lanjut, sebab saya rasa itu tak penting.
Setelah berjuang dengan mengoptimalkan segenap tenaga, akhirnya beberapa ikan berhasil diselamatkan, sedangkan beberapanya lagi harus kami relakan mereka untuk menghadap pencipta-Nya. Andai tak bergerak cepat, sudah dapat dipastikan semua ikan itu akan mengambang di permukaan kolam dalam keadaan tak hidup lagi. Apakah Zie terlibat dalam operasi penyelamatan itu? Saya juga kurang tahu, sebab istri saya tak memberi tahu, malah memberi saran agar pulang kerja saya ke sana dulu.
Dalam BBM dari istri saya itu juga terungkap sebuah fakta, bahwa betapa cerdasnya Zie itu. Setidaknya itu tergambar dari perkataannya tatkala diinterogasi tentang alasannya menuangkan Rinso ke dalam kolam.
"Kakang, kenapa Rinso nya dimasukin ke kolam sayang?" kata istri saya dengan lembut, tepatnya dilembut-lembutkan, sebab saya tahu dia pasti sedang kesal.
"Biar ikannya ngumpul Bunda." jawab Zie enteng dengan watados (wajah tanpa dosa) karena memang demikian adanya.
"Terus kalau udah ngumpul mau diapain Kang?" tanya istri saya lagi dengan kadar ingin tahu yang lebih.
"Biar gampang nangkepnya Bun," Zie bilang begitu pasti masih dengan ekspresi lucu.
Mendengar jawaban itu, si Bunda hanya terdiam. Dari seraut wajahnya yang kian lebar karena sedang mengandung, muncul rona-rona kebahagiaan. Lalu bibirnya membentuk lengkungan senyum manis, semanis aromanis. Adapun saya, tak kuasa menahan tawa, saat mengetahui semua itu. Kakang, kakang, ada saja tingkahnya yang seringkali disalah persepsikan menjadi nakal, padahal itu adalah pengejawantahan dari kreatifitas dan imajinasi yang merajalela di masa keemasan. Maafkan kami nak! #DamnILoveMySon
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H