Mohon tunggu...
Agus Setyarso
Agus Setyarso Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hobby Menulis

Merdeka 100%

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengukur Kekuatan Politik Jokowi dan Prabowo di Pulau Jawa

25 Februari 2019   13:31 Diperbarui: 25 Februari 2019   13:59 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
jakarta.tribunnews.com

Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2018 mencapai 265 juta jiwa dengan sebarannya lebih dari setengah jumlah penduduk berada di Pulau Jawa. Jumlah penduduk di Banten 8.1 juta, DKI Jakarta 7.7 juta, Jawa Barat 33.2 juta, Jawa Tengah 27.8 juta, Daerah Istimewa Yogyakarta 2.7 juta, dan Jawa Timur 30.9 juta. Untuk itu, tidak mengherankan apabila Pulau Jawa masih menjadi ladang subur percaturan kekuatan politik pada Pemilihan Presiden (Pilpres) tahun 2019. Mengutip kata-kata aktor seniman Syubah Asa yang memerankan DN Aidit dalam film Gerakan 30 September PKI, Jawa adalah Kunci!

Peta politik di Pulau Jawa diyakini masih menjadi miniatur politik nasional, sehingga meraup kemenangan di Pulau Jawa berarti menang dalam politik nasional. Demikian pula pelaksanaan pilpres tahun ini. Tidak mengherankan Jokowi-Maruf maupun Prabowo-Sandi berlomba-lomba menarik dukungan di Pulau Jawa. Hal ini bisa dilihat Jokowi yang sering blusukan ke Jawa Barat dan kubu Prabowo yang memindahkan markas pemenangan di Jawa Tengah.

Dari laporan utama majalah tempo edisi 25 Februari-3 Maret 2019, maka dapat terlihat peta kekuatan politik Joko Widodo-Maruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Seperti apa peta kekuatan politik itu? Apakah akan terjadi korelasi antara hasil pemilihan kepala daerah dengan pilpres 2019? Setidaknya ada beberapa sudut pandang untuk menjelaskan peta politik di Pulau Jawa diantaranya hasil survei Charta Politika, pemilihan kepala daerah 2018 dan hasil pemilihan presiden 2014.

Berdasarkan hasil survei Charta Politika, Jokowi-Maruf unggul di seluruh Pulau Jawa kecuali Banten dan DKI Jakarta. Di DKI Jakarta tidak ada hasil survei Charta Politika. Sedangkan Prabowo-Sandi Unggul di Banten. Namun apabila dilihat dari PDI Perjuangan sebagai partai yang merekrut Jokowi, maka pasangan Jokowi-Maruf mengalami kekalahan telak di Pulau Jawa. Sejumlah pasangan kepala daerah yang diusung PDI Perjuangan gagal memenangkan pemilukada, kecuali Jawa Tengah. Dengan melihat konstelasi politik ini tentunya tidak bisa dibuat spekulasi siapa yang akan menang atau kalah pada pilpres 2019.

Sebelum berspekulasi, ada baiknya melihat hasil perolehan pilpres 2014 sebagai bahan perbandingan. Mengingat pertarungan politik pada pilpres 2019 seperti tanding ulang antara Jokowi dan Prabowo. Berdasarkan hasil pilpres 2014, pasangan Jokowi-JK menang di Jawa Tengah, Jawa Timur dan DKI Jakarta, sedangkan Prabowo-Hatta hanya menang di Jawa Barat dan Banten. Kekalahan PDI Perjuangan dalam pemilukada di Jawa Timur setidaknya telah terobati dengan dipinangnya KH Maruf Amin sebagai calon Wakil Presiden. Tentunya sikap Nahdlatul Ulama akan memberi energi baru dalam membantu tugas PDI Perjuangan dalam memenangkan Jokowi-Maruf. Bagaimana dengan DKI Jakarta? Dengan membandingkan perolehan suara pilpres 2014 dan hasil pemilukada DKI Jakarta 2017, maka menarik untuk menganalisis peta politik di DKI Jakarta.

Pemilukada di DKI Jakarta

Berdasarkan hasil akhir rekapitulasi penghitungan suara tingkat provinsi KPU DKI Jakarta, pasangan Anies Rasyid Baswedan-Sandiaga Uno (Anies-Sandi) memperoleh 57,96 persen, sedangkan pasangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat (Ahok-Djarot) memperoleh 42,04 persen. Pasangan Anies-Sandi begitu dramatis mengungguli pasangan Ahok-Djarok pada putaran kedua yang laksanakan pada 15 April 2017. Padahal, pada putaran pertama terpaut sekitar 2 persen. Anis-Sandi memperoleh 30.91 persen, sedangkan Ahok-Djarot mendapatkan 33.26 persen.

Pasangan Ahok-Djarot diusung oleh koalisi partai PDI Perjuangan, Partai Golkar, Partai Hanura, Partai Nasdem, sedangkan Anies-Sandi diusung oleh Partai Gerindra dan PKS. Pada putaran kedua, partai pengusung Agus-Sylvi, yaitu Partai Demokrat, PPP, PKB dan PAN cenderung memberikan dukungan kepada Anies-Sandi. Kecuali Partai Demokrat, beralihnya dukungan partai-partai Islam itu dipicu oleh pidato Ahok di Kepuluan Seribu tanggal 27 September 2016 yang menyinggung perasaan umat Islam.

Hasil pemilukada 2017 di DKI Jakarta adalah sebuah anomali politik apabila disandingkan dengan hasil pilpres 2014. Terlepas dari isu politik yang membelit Ahok, PDI Perjuangan terbukti tidak mampu mewariskan kemenangan politik Jokowi-JK di DKI Jakarta kepada Ahok-Djarot. Kendati demikian, peluang Jokowi-Maruf pada pilpres 2019 menang di DKI Jakarta belum tertutup. Hal ini terlihat dari tradisi koalisi partai-partai politik di Indonesia yang cenderung tidak solid.

Selain PAN, PPP dan PKB cukup mempengaruhi suara muslim di DKI Jakarta. Partai-partai ini kini mendukung Jokowi-Maruf. Selain itu, beralihnya dukungan Partai Golkar yang sebelumnya mendukung Prabowo-Hatta pada pilpres tahun 2014 diyakini menambah energi baru dalam peta kekuatan politik di Pulau Jawa. Namun hal ini hanya hitung-hitungan di atas kertas, siapa yang akan menang tentunya berada pada pilihan rakyat Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun