Di kampung saya ada semacam kumpulan LGBT, bukan kumpulan sih, cuma mereka merasa senasib, ya ngumpul bareng.
Mereka bukan pengangguran, mereka mandiri dan gigih usahanya. Bidang yg digeluti tidak jauh dengan salon, wedding organiser. Yg jadi perias pengantin, nyediain tenda, panggung, alat prasmanan, semacam itulah.
Ada yang udah nikah dan punya anak, karena ketidaknyamanan pada dirinya yang merasa terjebak di raga yang salah, akhirnya memberontak lalu cerai dan memploklamirkan diri jadi waria. Ada juga yang merasa ada teman untuk menunjukan eksitensi dirinya lalu gabung dengan mereka, lama-lama semakin banyak jumlahnya. Tapi stagnan dijumlah belasan tidak sampai lebih dari dua puluhan. Sampai sekarang pun orangnya masih itu-itu juga. Malah cenderung berkurang karena ada yang meninggal dunia.
Walau awalnya lingkungan merasa risih dengan keberadaan mereka, tapi mereka pandai membawa diri. Ramah-ramah, suka becanda dan tidak rese.
Interaksi dengan lingkungan juga biasa saja karena mungkin orang sekampung kenal dari kecil siapa mereka dan keluarga mereka. Kehadirannya memberi warna tersendiri dikala warga membutuhkan keahlian mereka. Terus terang, kehadiran mereka membuat suasana jadi hidup.
Anak muda kampung suka ngumpul sama mereka, karena emang rame, cocok sama jiwa muda yang suka becanda.
Saya lihat ga ada tuh yg ketularan kalau tadinya tidak ada kecenderungan melambai walau gaul sama mereka tiap hari.
Mungkin tergantung kecenderungan maskulin dan feminimnya banyakan mana yg membuat seseorang menjadi ikutan dan tidaknya.
Soalnya ada yang sudah lama berada di komunitas itu masih tetep tidak ikut-ikutan melambai dan suka sama wanita, ada juga yg baru gabung langsung kelihatan melambainya.Â
Yang terakhir mungkin emang sudah melambai dari sononya, tapi malu untuk menunjukan siapa dirinya ke khalayak, baru setelah bergabung jadi bebas menunjukan jati dirinya karena ada teman senasib.
Pasti ada pergolakan batin di diri mereka walau lingkungan bersikap seolah tidak ada yang salah, karena mereka sadar ada yang tidak beres dengan diri mereka.
Saya lihat ada yang menjauh dari lingkaran, selanjutnya mencoba hidup normal dengan cara menikah. Yang mencoba dengan sekuat tenaga ternyata ada yang berhasil hidup normal dengan memiliki keluarga lengkap dengan anak-anak yang lucu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H