Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memahami Keprihatinan dan Kritik Presiden terhadap TV Nasional

24 Agustus 2015   22:16 Diperbarui: 24 Agustus 2015   22:16 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana kita ketahui pada Jumat (21/8/2015) Presiden Joko Widodo mengumpulkan para pimpinan redaksi televisi nasional di Istana Merdeka. Dalam pertemuan tersebut, presiden yang didampingi oleh Seskab Pramono Anung, Mendikbud Anies Baswedan, Menkominfo Rudiantara dan Tim Komunikasi Presiden Teten Masduki menyampaikan pesan agar pers nasional bisa mendidik masyarakat, tidak semata-mata mengejar rating.

Menariknya, kritik presiden terhadap televisi, bukan pada news-nya (pemberitaan) tetapi lebih kepada program hiburan dan sinetron. Jokowi, misalnya, menyoroti program-program yang sudah lama dikeluhkan publik seperti dari kalangan pendidik (guru), tokoh masyarakat dan ormas-ormas agama.

Para pendidik menyoroti betapa jerih mereka dalam mendidik anak tentang budi pekerti di sekolah menjadi sia-sia karena pada sore dan malam harinya televisi justru menyuguhkan program (tontonan) yang berbanding terbalik dengan yang diajarkan. Tokoh masyarakat, juga dirinya, sangat prihatin dengan tontonan yang menonjolkan budaya (mentalitas) konsumtif dan bermewah-mewahan. Sementara kalangan ormas agama mengeluhkan banyaknya program televisi yang menanyangkan hal-hal yang berbau tahayul, tidak rasional.
-------------------------------------------------------------------------

Mengapa presiden tidak mengkritik televisi karena news-nya, melainkan karena program-program hiburan dan sinetronnya? Ini kemungkinannya:

News (Berita)
Hanya wartawan, atau setidaknya orang sudah pantas diberi kartu pers, yang akan dipercaya oleh stasiun televisi untuk mencari dan menuliskan sebuah berita. Pemilik kartu pers pastilah orang yang sudah terlatih dalam penulisan berita serta paham akan kode etik jurnalistik. Wartawan yang paham dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik pastilah akan mengikuti kaidah-kaidah penulisan berita yang benar.

Ketika sebuah berita ditulis dengan mengikuti kaidah teknik dan etik yang benar pastilah isi berita bisa dipertanggungjawbakan. Jika isi sebuah berita bisa dipertanggungjawabkan, maka apa pun subjek, objek, dan peristiwanya dia akan menjadi sumber pengetahuan dan pelajaran bagi publik.

Bukankah berita bisa direkayasa? Benar! Tetapi, ‘berita’ hasil rekayasa bukanlah sebuah berita melainkan cerita fiksi. Sebuah, kebohongan. Bila itu dilakukan maka siperekayasa sudah melanggar kode etik, bahkan boleh jadi sudah melakukan tindakan kriminal.

Jika itu alasan presiden tidak risau terhadap news televisi, maka dapat kita simpulkan bahwa presiden masih percaya dan karenanya berharap bahwa wartawan televisi dapat, telah, dan akan selalu bekerja secara profesional.

Program Hiburan

Kategori tayangan hiburan yang dikritik adalah yang mendorong publik untuk konsumtif, bermewah-mewahan dan tidak rasional. Loh, apa salahnya?

Bukankah percaya pada hal-hal berbau tahayul, perilaku konsumtif, suka bermewah-mewah, malas bekerja, adalah hak seseorang? Bukankah tingginya rating acara-acara bertema tahayul, kemewahan, dan konsumtif mengindikasikan banyaknya anggota masyarakat kita menyukai (berhak) perilaku seperti itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun