Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Eks Napi Ikut Pilkada, Potret Kemunafikan Kita!

31 Juli 2015   14:51 Diperbarui: 12 Agustus 2015   05:05 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - mantan napi diperbolehkan daftar jadi calon kepala daerah (Kompas)

Semua berawal dari Keputusan MK yang menganulir Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota (UU Pilkada).


Keputusan MK itu menyatakan bahwa Pasal 7 huruf g UU No. 8 Tahun 2015 inkonstitusional bersyarat sepanjang narapidana yang bersangkutan jujur di depan publik. Jujur di depan publik maksudnya adalah mantan terpidana tersebut secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Disambut gembira
Tak butuh waktu lama, hanya dalam hitungan minggu Keputusan MK itu langsung berefek. Beberapa mantan napi korupsi (terbukti secara hukum menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan diri saat menjadi pejabat daerah) dan politisi parpol (yang suka bermain-main dengan integritas) langsung bersimbiosis mutualistic. Maka, terjadilah fenomena seperti sekarang ini, di mana beberapa mantan bupati/walikota yang dipidana penjara mencalonkan/dicalonkan untuk menjadi kepala daerah dalam pilkada serentak 9 Desember 2015 nanti.


“Tidak ada manusia yang sempurna kebaikannya, juga tidak ada manusia yang mutlak keburukannya. Semua manusia pernah berbuat salah, tetapi berhak mendapat kesempatan memperbaiki kesalahannya di masa lalu”. Itulah alasan moral yang dipakai para pengurus (baca: pemilik) parpol yang antusias mengusung mantan napi dalam pilkada nanti. Sungguh, sebuah alasan klise yang sangat manusiawi dan terkesan sangat bijak.


Tetapi ada hal yang sepertinya luput dipertimbangkan oleh para pengurus parpol pengusung para eks-napi itu. Bahwa dengan mengusung para mantan napi mereka telah dan sedang menunjukkan kelemahan dan kemunafikan diri mereka sendiri sebagai berikut.

  • bahwa parpol mereka tak punya kader berkualitas, bahkan kalah kualitas dari seorang matan napi korupsi sekalipun;
  • bahwa parpol mereka tak memiliki sumber daya (uang) yang cukup untuk membiayai kadernya dalam pilkada sehingga merasa perlu mengusung mantan napi korupsi yang memang (boleh jadi masih) memiliki harta berlimpah;
  • bahwa mereka telah mengangkangi komitmen perjuangan partainya sendiri, mengingat setiap parpol memiliki jargon: antikorupsi dan kesejahteraan rakyat;
  • bahwa mereka bersikap sangat pragmatis, lebih melihat untung-rugi materi-duniawi sebagai tujuan perjuangan ketimbang perbaikan akhlak masyarakat.

Kejujuran di depan publik
Pembolehan mantan napi dicalonkan dalam pilkada diberi syarat oleh MK, yaitu harus jujur di depan publik. Jujur mengakui bahwa dirinya adalah mantan terpidana. Sungguh sebuah syarat yang (menurut kacamata awam saya) sangat ringan, sama sekali tak berimplikasi moral, apalagi politik.


Mengakui diri pernah masuk penjara, bagi sebagian mantan napi, sama sekali bukan aib, bahkan ada kecenderungan dirasakan sebagai kebanggaan. Mantan napi politik, napi pembunuh akibat perkelahian, dan napi kasus teroris adalah contoh orang-orang yang justru bisa dengan kepala tetap tegak ketika keluar penjara.


Jika pengakuan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana dijadikan kriteria kejujuran untuk dicalonkan, maka pastilah semua mantan napi akan menggunakannya. Bukan untuk mengakui dosa, tetapi untuk mengelak.


Betapa tidak, yang perlu diakuinya hanyalah “pernah jadi narapida (masuk penjara)” bukan pernah melakukan “korupsi”. Boleh jadi, di depan publik, yang bersangkutan justru akan menggunakan kesempatan untuk mengambinghitamkan pihak-pihak lain. Bahwa dia masuk penjara bukan karena kesalahannya, melainkan karena dikhianati, karena didzolimi, karena dikriminalisasi dan sebagainya. Belum lagi peran tim suksesnya yang akan memperkuat dalih sang mantan napi tersebut.


Jika saja pengakuan di depan publik itu adalah pengakuan bersalah telah melakukan penyalahgunaan jabatannya di masa lalu untuk kepentingan diri dan atau kelompok, secara moral akan sangat berguna, tetapi secara politik bisa merugikan. Berdasarkan logika ini maka mustahil rasanya orang yang benar-benar bermoral baik mau menjalaninya (mencalonkan diri kembali dalam pilkada) untuk memperbaiki kesalahan masa lampaunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun