Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Eks Napi Ikut Pilkada, Potret Kemunafikan Kita!

31 Juli 2015   14:51 Diperbarui: 12 Agustus 2015   05:05 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemunafikan kolektif
Adalah manusiawi jika para eks-napi korupsi, yang notabene adalah kelompok orang yang semula terhormat dan dijadikan panutan, berusaha membersihkan stigma bersalah atau penjahat dari diri dan keluarganya. Karena itu mudah dipahami bila mereka berusaha mencari dan memanfaatkan peluang yang ada. Selain bisa membersihkan stigma negatif dari masyarakat, sekaligus merebut kembali eksistensi diri yang sempat hilang guna memuaskan hasrat dan ambisi terhadap kekuasaan dan kekayaan pada kesempatan kedua.

Yang sulit dimengerti adalah bagaimana bisa para pengurus (baca: pemilik) parpol mau mengorbankan idealisme, platform, dan jargon-jargon partainya dengan mengusung nama-nama yang secara hukum telah terbukti bersalah? Bukankah negara ini adalah negara hukum, lalu mengapa keputusan hukum tidak dijadikan rujukan utama dalam menilai kualitas akhlak seseorang?

Sepertinya kita, anak bangsa Indonesia ini, memang rentan terserang penyakit lupa. Kita lupa betapa merdunya bunyi lantunan kalimat sumpah para pejabat negeri ini ketika mengangkat sumpah saat dilantik. Faktanya, sumpah itu bahkan tak pernah dia ingat lagi apa bunyinya ketika sang pejabat tersebut melakukan penyelewengan dana-dana pembangunan. Kita lupa, bahwa kita semua meradang dan mengutuk setiap kali kita mendengar ada pejabat negeri yang korupsi. Saking geramnya kita seakan ingin menguliti sang pejabat beserta keluarganya.

Lantas mengapa kemudian kita menjadi permisif, penuh maklum, ketika sang mantan pejabat itu kembali ingin menduduki kursi yang pernah digunakannya menjarah uang rakyat? Sehingga dengan entengnya kita berkata, “Tidak ada manusia yang sempurna kebaikannya, juga tidak ada manusia yang mutlak keburukannya. Semua manusia pernah berbuat salah, tetapi berhak mendapat kesempatan memperbaiki kesalahannya di masa lalu".

Jangan-jangan kita semua memang munafik. Kita berteriak lantang memaki orang yang korupsi hanya karena kita tidak punya kesempatan. Tetapi ketika ada kesempatan kita juga akan berdalih “tidak ada manusia yang sempurna kebaikannya”.

Salam Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun