Seperti kita ketahui bersama, Presiden Jokowi merayakan hari raya Idul Fitri (Jumat, 17/7/2015) di Aceh. Dari ujung Utara Sumatra itu, Jokowi langsung terbang ke Solo untuk merayakan lebaran bersama warga di kota asalnya itu. Sementara itu Ketum PDIP, Megawati Soekarno Putri, di saat bersamaan didatangi beberapa tokoh penting negeri ini di kediamannya untuk bersilaturahmi.
Rupanya dua kejadian di atas memunculkan opini spekulatif dari masyarakat bahwa ketidakhadiran Presiden Joko Widodo ke kediaman Megawati itu pertanda masih buruknya hubungan Presiden dengan Ketum partai pendukungnya itu. Penilaian tersebut ditepis oleh Wasekjen PDIP, Achmad Basarah, dalam acara talk show Negeri ½ Demokrasi TV One malam ini (Kamis, 23/7/2015). Menurut Basarah, tidak tampaknya Jokowi di kediaman Megawati saat lebaran kemarin sama sekali tidak berkaitan dengan status hubungan antara keduanya.
Tahun ini, lanjut Basarah, Megawati tidak mengadakan acara open house seperti tahun-tahun sebelumnya. Rencana untuk tidak mengadakan open house tersebut sudah dikomunikasikan dan diketahui oleh Presiden. Karena itulah Presiden menggunakan kesempatan itu untuk merayakan Idul Fitri di Aceh.
Terlepas apakah ketidakhadiran Jokowi di kediaman Megawati untuk bersilaturahmi itu menggambarkan kerenggangan hubungan mereka atau tidak yang penting kita sadari adalah bahwa silaturahim dalam rangka lebaran sama sekali bukanlah (dan tidak perlu dikaitkan dengan) ritual politik atau acara kenegaraan.
Silaturahim dalam Idul Fitri adalah ‘ritual’ sosial antara pribadi untuk mengekspresikan bakti atau rasa hormat kepada orang yang lebih tua (terutama orangtua) dan peleburan rasa bersalah, kebencian, dan dendam terhadap sesama—kerabat, tetangga, dan sahabat.
Mudik menjadi tradisi di kalangan muslim nusantara ini karena umat islam meyakini adanya ‘kewajiban’ untuk berbakti, menghormati, dan meminta restu orang tua. Sebab, tanpa restu dan maaf orang tua semua amal ibadah selama bulan Ramadhan yang telah dijalani tidak bermakna.
Dengan demikian jelaslah bahwa acara silaturahmi/sungkeman dalam Idul Fitri adalah ranah ‘ibadah’ yang personal. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan agenda birokrasi, pemerintahan, atau kenegaraan. Sayangnya kebiasaan-kebiasaan para birokrat negeri ini mengadakan halal bil halal dan/atau open house telah mengaburkan makna sebenarnya dari silaturahim Idul Fitri tersebut.
Acara halal bil halal seringkali hanya dijadikan acara pesta makan dan bersalam-salaman tanpa makna sosial dan spiritual sama sekali. Open house kerap dijadikan ajang untuk melihat/mengukur kesetiaan bawahan. Akibatnya, orang datang ke acara halal bil halal atau open house yang diadakan oleh seorang pejabat/kepala kantor bukan karena ketulusan hati untuk meminta/memberi maaf melainkan karena takut dipandang tidak loyal kepada atasan.
Kembali ke soal ketidakhadiran Jokowi di kediaman Megawati. Bagi saya, ini merupakan bagian dari ‘revolusi mental’ yang justru digaungkan Presiden. Sudah saatnya hal-hal yang masuk ranah ibadah dan personal tidak dicampur-adukkan dengan kegiatan kenegaraan.
Megawati memang lebih tua daripada Jokowi, tapi hubungan keduanya terjalin karena politik saja, bukan karena hubungan darah (keluarga). Karena itu tidak ada kewajiban ‘moral-keagamaan’ bagi Jokowi untuk bersilaturahim, apalagi sungkem, kepada Megawati.
Dalam struktur kenegaraan pun, Megawati bukanlah ‘siapa-siapa’nya Jokowi. Tidak ada kewajiban seorang kepala negara/pemerintahan untuk tunduk dan patuh, apalagi takut kepada seorang Ketua Umum Partai Politik. Bahwa Jokowi jadi presiden berkat ‘jasa’ PDIP yang telah mengusungnya, itu betul. Tetapi, ketika dia sudah menjadi presiden maka Jokowilah orang nomor satu negeri ini. Dialah yang justru harus mendapat penghormatan melebihi siapapun di republik ini. Megawati pun tidak akan menjadi lebih rendah derajatnya jika mendatangi kediaman Presiden Jokowi untuk bersilaturahmi.
Selanjutnya, tindakan Jokowi merayakan Idul Fitri di Aceh boleh kita anggap sebagai sebuah trobosan baru yang sangat bagus. Sebagai kepala negara dan pemerintahan Jokowi bukan hanya presiden orang Jakarta, tetapi presiden NKRI. Orang-orang di daerah berkesempatan sholat bersama dan bergembira bersama presidennya. Karena itu trobosan Presiden merayakan Idul Fitri di daerah sebaiknya dijadikan tradisi baru.
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H