Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tol Cipali Haus Tumbal, Hati-hati!

10 Juli 2015   01:38 Diperbarui: 10 Juli 2015   01:38 2475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak dibuka secara resmi oleh Presiden Joko Widodo tanggal 14 Juni 2015 hingga Rabu 8 Juli 2015, Jalan Tol Cikopo-Palimanan (Tol Cipali) sudah membukukan 56 kecelakaan lalu-lintas dan merenggut 12 korban. Demikian penjelasan resmi Kapolda Jawa Barat Irjen Pol Moechgiyarto di Kota Bandung, sebagaimana diberitakan Republika Co.Id, Kamis (9/7/2015). Faktor penyebab dominan 56 kecelakaan tersebut, tambah Kapolda, adalah human error.

Human error
Data Korlantas Mabes Polri (tahun 2013) menunjukkan bahwa penyebab kecelakaan tertinggi adalah manusia (65,67%). Berikutnya, berturut-turut adalah parasarana jalan (12,8%), kelaikan jalan (10, 47%), kelaikan kendaraan (9,78%), dan alam (1,28%). Berdasarkan fakta tersebut jelaslah bahwa manusia adalah faktor dominan penyebab kecelakaan lalu lintas.

Tentang kecelakaan di jalan tol Cipali selama tiga minggu pengoperasiannya, Kapolda Jabar juga menyatakan bahwa penyebab tertingginya adalah human error. Bicara human error berarti berbicara faktor manusia. Dalam konteks berlalu lintas (mengemudi) yang termasuk ranah faktor manusia itu antara lain: kekurang-cakapan, kesombongan, kecerobohan, ketidak-sabaran, kelelahan, dan rasa kantuk.

Sayangnya, manusia (baca: para pengemudi) umumnya cenderung tidak mau mengakui ‘kelemahan-kelemahan’ manusiawinya tadi. Tidak sedikit orang justru ingin memperlihatkan kelebihan dan ketangguhan dirinya dalam bekerja mengemudi. Padahal, setiap manusia memiliki keterbatasan fisik secara alamiah.

Pandangan tradisional berbau mitos
Meski penjelasan Kapolda tentang faktor dominan penyebab kecelakaan tersebut bisa disebut ilmiah, tidak demikian dengan pandangan salah seorang kolega saya. Menurut dia kecelakaan—yang boleh dibilang tinggi untuk ukuran ruas jalan baru—disebabkan karena ‘penguasa’ Jalan Tol tersebut belum merelakannya. ‘Penguasa’ adalah istilah sang kolega untuk menyebut makhluk-makhluk halus penghuni lahan jalan tersebut. Kemarahan makhluk-makhluk halus yang terpaksa kehilangan tempat hunian akibat pembukaan jalan tol itulah yang menuntut tumbal nyawa para penggunanya.

Benarkah demikian? Yang pasti pandangan kolega saya itu mencerminkan dan mewakili pandangan sebagian masyarakat di nusantara ini. Adalah lazim kita mendengar cerita masyarakat tentang adanya tempat-tempat tertentu di ruas-ruas jalan antar kota yang digolongkan angker. Dikatakan angker karena di tempat-tempat tersebut sering terjadi kecelakaan lalu lintas yang kerap menelan korban jiwa.

Kambing hitam kecelakaan
Keangkeran tempat-tempat semacam itu dilengkapi pula dengan cerita-cerita bahwa ditempat itu ada penunggunya seperti jin, siluman, atau hantu yang memang selalu meminta tumbal (korban nyawa manusia). Para supir yang pernah mengalami kecelakaan (tetapi selamat) di tempat-tempat angker itu seringkali bercerita bahwa kecelakaan itu terjadi karena dia tiba-tiba melihat ada nenek-nenek melintas di depannya, melihat cahaya menyilaukan yang tidak jelas asalnya, atau melihat binatang menghadang ditengah jalan lalu lenyap dengan tiba-tiba, dan sebagainya.

Tentu pertanyaannya adalah “Bisakah cerita-cerita para supir itu kita verifikasi?” Tentu saja, mustahil. Kalau lah sensasi yang dialami (melihat penampakan sesuatu) itu adalah realitas, maka realitas itu sangatlah subjektif. Boleh jadi pengalaman itu hanyalah halusinasi. Tidak ada seorangpun yang bisa memverifikasi pengalaman orang yang terhalusinasi.

Sebaliknya, jika bukan karena halusinasi maka cerita-cerita itu boleh jadi jadi hanya isapan jempol belaka—cerita yang dikarang. Untuk apa mengarang cerita bohong semacam itu? Untuk menciptakan kambing hitam. Kambing hitam atas kebodohan, kecerobohan, kekurangan-cakapan, dan kelemahan biologis dirinya.

Begini penjelasannya. Misalkan, seorang pengemudi mengalami kecelakaan, katakanlah penyebabnya karena dia mengantuk. Jika dia berterus terang, maka dia akan disalahkan, apa lagi jika dia berterus terang bahwa penyebabnya karena dia kebut-kebutan di tempat yang salah. Bukan hanya akan dipersalahkan, pengemudi yang mengalami kecelakaan karena mengantuk dan karena ngebut yang tidak tepat akan dianggap bodoh dan kurang terampil mengemudi.

Siapa pun orangnya akan menghindari penilaian seperti itu. Pengemudi upahan bisa-bisa akan kehilangan pekerjaan jika mengakui terus terang kesalahan konyol dirinya. Satu-satunya dalih paling aman adalah mengarang cerita (mitos) bahwa kecelakaan itu terjadi karena dia tiba-tiba melihat penampakan sesuatu. Cerita itu aman, karena tidak ada alat atau teknologi yang bisa membuktikannya.

Tidak ada makhluk halus yang meminta ‘tumbal’
Data Korlantas Mabes Polri adalah data empiris. Bisa diuji dan diverifikasi. Lantas bagaimana dengan anggapan adanya makhluk-makhluk halus yang meminta tumbal nyawa manusia?Anggapan tersebut hanyalah keyakinan yang bersumber pada mitos. Kekurang-cakapan, ketidak-sabaran, keangkuhan, kecerobohan, kelelahan, dan rasa kantuk adalah faktor manusiawi yang banyak menimbulkan error dalam pekerjaan.

Agar tidak menjadi tumbal kecelakaan lalu lintas maka error itu harus dicegah. Caranya, jangan memaksakan diri atau membiarkan seseorang mengemudi (ini terutama berlaku bagi orang yang pekerjaannya bukan supir) bila:

  • Durasi mengemudi sudah menembus angka 6 jam tanpa beristirahat;
  • Bila perjalanan memasuki siang hari setelah semalaman mengemudi;
  • Ketika kebiasaan menggunakan isyarat (lampu dim, lampu sen, klakson) biasanya tepat moment, tempat dan peruntukannya mulai tidak konsiten;
  • Ketika bertemu dengan kondisi jalanan dimana biasanya pengemudi menginjak rem, dia tidak mengurangi kecepatan;
  • Ketika pengemudi tidak lagi menjaga jarak aman yang kosisten dengan kendaraan lain (yang berpapasan, yang didahului, atau yang dibuntuti);
  • Bila supir terlihat menggerakan setir dengan sentakan tertentu, sementara kondisi jalan mulus dan tidak ada rintangan apa pun di depan;
  • Lintasan (roda) kendaraan keluar dari marka jalan, sementara di depan tidak ada apa pun yang mengharuskan pengemudi keluar dari marka tersebut;
  • Ketika si supir yang sejatinya dikenal sabar tiba-tiba mengeluarkan umpatan pada (pengemudi) kendaraan lain;

Hal-hal di atas bisa dijadikan pertanda/gejala supir mulai lapar, kelelahan, atau mengantuk.

Salam Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun