Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sultan HB X Dinilai Membodohi Rakyat

10 Mei 2015   10:03 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:12 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Anggota Komisi X DPR RI, Teguh Juwarno, minta Sultan HB X tak bodohi rakyat. Demikian diberitakan di sini.  Teguh Juwarno menulis di akun twiternya dengan kalimat: “Hari gini ngaku dapat perintah langsung dari Allah.. mohon berkaca diri tuan. janganlah mimpi anda maknai sebagai wahyu, sabda ilahi.” Twit lain mantan presenter televisi itu “Karena sabdanya itu kan sama saja dia menyatakan dirinya Nabi.. kok tega pemimpin membodohi rakyat yg tulus.”

Dari kalangan keluarga Kraton sendiri penolakan Sabda Raja bukan hanya datang dari para elitnya (adik-adk Sultan) tetapi juga kalangan kawula alitnya—abdi dalem. Sebagaimana diberitakan di sini salah seorang abdi dalem bergelar Mas Wedana Nitikartiya mengembalikan gelar abdi dalemnya kepada Kraton.  Abdi dalem yang bernama asli Kardi itu telah mengembalikan surat keputusan (dalam istilah Kraton di sebut Kekancingan) pengangkatan dirinya menjadi abdi dalem Nomor 70/ PHK/TDP/VIII/2011, Ngayogyakarta Hadiningrat, Rebo Legi, 1 Syawal 1944 kepada GBPH Cakraningrat selaku Pengageng Tepas Danarto Puro. Alasan Kardi mengembalikan kekancingan itu karena menganggap Raja Kraton Ngayogyakarta sudah bukan raja lagi karena dengan mengganti gelar Sultan dia sudah menyimpang.

Akankah seorang abdi dalem berani menolak Sabda Raja bila sang abdi itu percaya bahwa sabda tersebut adalah Wahyu Tuhan? Rasanya mustahil. Karenanya dapat disimpulkan bahwa pengakuan Sultan HB X mengenai wahyu yang diterimanya itu bukan hanya tidak dipercayai oleh kalangan elit tetapi juga oleh kaum alit (rakyat cilik).

Wahyu dan ilham

Dari perspektif Islam (di sini) wahyu diartikan sebagai: Pertama,  pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus diberikan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Kedua, pengetahuan yang didapat oleh seseorang dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah melalui perantara atau pun tidak.

Berdasarkan dua definisi di atas maka wahyu juga mencakup ilham. Yaitu pengetahuan dan skill bawaan dasar (naluriah) manusia seperti yang disabdakan kepada ibu Nabi Musa ‘Susuilah dia…’ Bisa juga berupa naluri pada binatang sebagaimana tertulis dalam Surat An-Nahl 68: “…Dan Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah ‘Buatlah sarang di bukit-bukit di pohon-pohon kayu dan di rumah-rumah yang didirikan manusia’…”

Bagaimana dengan klaim Sultan HB X? Berlakukah kedua definisi wahyu tersebut pada sabda sang raja? Pastinya, ya.

Masalahnya, bagaimana menguji/membuktikan bahwa sabda tersebut benar bersumber dari Allah. Tentunya mustahil. Sebab yang tahu mengenai isi, media dan mekanisme penyampaian wahyu tersebut hanya yang bersangkutan saja.

Tetapi jika mengacu definisi yang kedua bahwa wahyu juga mencakup ilham yang bersumber dari dalam dirinya sendiri (naluri), pembuktiannya tidak terlalu sulit. Sultan adalah manusia biasa yang berstatus suami dan ayah. Sebagai seorang ayah Sultan memiliki naluri biologis: mencintai, merawat, melindungi, membahagiakan keturunannya.

Jadi, apabila sabda Sri Sultan HB X itu memang bertendensi untuk menjadikan putri sulungnya sebagai penerus tahta Kraton maka sumbernya sangatlah jelas, yaitu naluri seorang ayah. Jika naluri diyakini sebagai karunia Allah maka Sabda Raja Kraton Yogyakarta itu sah-sah saja dianggap ilham.

Jika kita megakui definisi wahyu yang kedua dan meyakini bahwa sumber naluri adalah Allah maka Sri Sultan tidak perlu dianggap membodohi rakyat. Bahwa sabdanya itu lebih menguntungkan keluarganya sendiri itu pun harus dipandang sebagai barokah dari Allah pula.

Tetapi jika klaim Sri Sultan tentang Dawuh Allah itu didasari oleh keinginan untuk memanfaatkan/memanipulasi keyakinan sebagian masyarakat Yogya tehadap hal-hal mistis—percaya akan keberadaan Ratu Laut Kidul, percaya bahwa kotoran kerbau bule yang bergelar kiyai memiliki banyak khasiat, percaya bahwa air bekas cucian keris keraton bisa memberi kemakmuran—maka  bolehlah Sultan HB X dicurigai sedang membodohi rakyatnya sendiri.

Yang pasti, apa pun sumber dan tujuan sabda tersebut (wahyu, ilham, atau pikiran), Sri Sultan Hamengku Buwono X telah dan sedang melakukan langkah politik yang cerdas.

Salam Kompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun