Pemerintah Kabupaten Aceh Utara bersama Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Utara telah memberlakukan Qanun tentang Kemaslahatan dan Ketertiban Umat (KKU) terhitung mulai tahun ini (2015). Qanun ini memuat sejumlah larangan terkait pergaulan antara lelaki dan perempuan. Demikian diberitakan Metro TV Jumat malam 8/5/2015.
Larangan-larangan tersebut antara lain: larangan bagi pasangan hon-muhrim untuk berkeliaran, berdua-duaan serta berpasang-pasangan, berboncengan sepeda motor dan bermesraan di dalam mobil. Kaum wanita harus mengenakan jilbab dan tidak boleh mengenakan pakaian ketat, sementara kaum lelaki tidak boleh mengenakan celana pendek.
Khusus mengenai pakaian ketat itu, larangan bukan hanya pada pemakainya, melainkan juga larangan untuk menyediakan atau menjualnya. Artinya, toko-toko busana dilarang menjual pakaian-wanita ketat. Di luar itu, ada lagi larangan yang bakal menjadi beban pemerintah setempat, yaitu larangan bagi murid sekolah berbeda jenis kelamin untuk belajar dalam satu ruangan kelas.
Mahalnya harga larangan
Terlepas dari besarnya maslahat yang diimpikan, mari kita ulas beberapa kemungkinan dampak logis yang sangat mungkin timbul akibat larangan-larangan tersebut, khususnya tentang larangan berboncengan sepeda motor dan belajar dalam satu ruangan.
1.Larangan berboncengan sepeda motor
Meski ada kalimat tambahan yang mengatur larangan yang berbunyi “kecuali karena kondisi khusus atau darurat”, larangan ini berpotensi mematikan usaha ojek motor. Tukang ojek mayoritas lelaki sementara pengguna ojek bukan hanya kaum lelaki tetapi juga kaum perempuan. Lantas kondisi/situasi seperti apa yang dimaksud dengan kondisi khusus atau kondisi darurat? Siapa yang berhak memastikan telah terpenuhi atau tidaknya kondisi tersebut? Jalan keluarnya ada dua. Pertama, larang sama sekali usaha ojek motor. Kedua, ijinkan kaum perempuan menjadi tukang ojek untuk penumpang perempuan.
2.Larangan belajar dalam satu ruangan bagi siswa-siswi non muhrim
Misalkan salah sebuah SMP di sana saat ini (murid lelaki dan perempuan masih belajar di dalam satu ruangan) kapasitas normalnya adalah bisa menampung dua rombongan belajar untuk setiap (jenjang) kelas maka SMP tersebut saat ini memiliki 6 ruangan belajar. Jika murid lelaki dan perempuan harus dipisahkan ruangan belajarnya maka jumlah ruangan belajar harus ditambah dua kali lipat, menjadi 12 ruangan.
Fasilitas belajar pada sebuah sekolah bukan hanya terbatas ruang kelas melainkan juga perpustakaan, laboratorium atau studio dan sarana olahraga. Nah jika larangan belajar dalam satu ruangan harus diterapkan maka semua fasilitas belajar tadi harus pula digandakan. Mengingat di Aceh Utara, menurut berita tersebut, terdapat lebih dari 200 sekolah maka bayangkan sendiri berapa biaya yang harus ditanggung pemerintah setempat untuk memenuhinya.
Konsekuensi logis
Selanjutnya, yang perlu pula dipahami adalah kriteria non-muhrim antara lelaki dan perempuan bukan hanya berlaku antara murid dengan murid, melainkan juga antara murid dengan guru. Konsekuensinya, jika memang orang non-muhrim tidak boleh beraktivitas dalam satu ruangan maka di kelas murid perempuan tidak boleh ada guru lelaki. Konsekuensinya jumlah guru harus pula digandakan yang jumlahnya sebanding dengan banyaknya penambahan ruang menurut jenjang kelas. Atau, pisahkan saja sekolah untuk lelaki dengan perempuan. Dengan demikian sekolah perempuan hanya diasuh/diajar oleh guru perempuan, sedangkan sekolah untuk anak lelaki hanya diajar oleh guru lelaki. Siapkah pemda dan masyarakat setempat menanggung biaya dan menjalaninya?
Larangan belajar dalam satu ruangan bagi murid-murid non-muhrim dimaksudkan untuk mengurangi kontak fisik antara lelaki dan perempuan yang berpotensi membangkitkan birahi. Hal yang mungkin belum dipertimbangkan bahwa jika itu maksudnya maka siswa-siswi boleh patuh untuk tidak melakukan kontak fisik (tatap mata, atau bersentuhan kulit) selama berada di sekolah. Bagaimana saat mereka berada di jalan, di angkutan umum misalnya?
Jadi, konsekuensi logis dari larangan belajar dalam satu ruangan itu mestilah disempurnakan dengan larangan murid-murid tadi berada dalam satu angkutan umum (angkot atau bus) yang sama. Harus ada angkutan khusus murid lelaki dan angkutan khusus murid perempuan. Kalau itu masih belum sempurna maka supirnya harus pula diatur, bus untuk kaum perempuan harus dikemudikan oleh kaum perempuan. Begitu pula sebaliknya. Haruskah seperi itu pergaulan antar rakyat mesti diatur?
Yang pasti sepanjang sejarah manusia telah terbukti bahwa suatu aturan niscaya tidak akan efektif mengubah perilaku manusia jika landasannya tidak logis, diterapkan dengan teralu banyak kekecualian dan tidak konsisten.
Pengalaman penerapan hukum negeri ini membuktikan bahwa aturan yang memuat pasal-pasal karet (mutli tafsir) yang disertai dengan banyak kekecualian dalam penerapannya rentan disalahgunakan.
Mengingat Aceh adalah Serambi Mekah yang kadar ke-islaman masyarakatnya tidak perlu diragukan, saya (dan mungkin kita semua) patut yakin bahwa Qanun ini akan efektif sehingga bisa dijadikan contoh bagi daerah-daerah lain dalam menangani penyakit social masyarakatnya. Semoga…
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H