Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sengkuni: Belum Baratayudha, Anas! Belum Saatnya Kau Melawan

25 Februari 2013   15:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:42 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, sebelum resmi terdepak dari sainggasananya sempat beberapa kali meluncurkan sindiran kepada lawan politiknya via BBM. Salah satu kalimat sindirannya yang cukup menghebohkan adalah “politik para Sengkuni”.

Ketika mengkonfirmasi maksud kalimat tersebut Anas tidak secara tegas menyebut arah dan maksud pernyataannya itu, melainkan hanya mengaku tertarik saja dengan sepak terjang politik Sengkuni dalam kisah Mahabarata.

Menariknya, meski dia terlahir sebagai orang Jawa, Anas tidak merujuk tokoh Sengkuni  menurut versi pewayangan, melainkan merujuk epic aslinya, buku Mahabrata. Meskipun rujukan itu ‘sahih’ tetapi bila tokoh Sengkuni itu ingin dipertalikan dengan budaya (intrik) politik yang berkembang di Indonesia saat ini, akan lebih menarik bila lakon (kiprah) Sengkuni dirujuk pada seni pewayangan Jawa.

Dalam pentas seni pewayangan ada sebuah babak yang tidak akan dijumpai di dalam kisah asli Mahabarata  atau Ramayana (versi Hindu), yaitu babak goro goro. Goro goro adalah babak dalam pementasan seni wayang Jawa yang ditandai dengan munculnya tokoh-tokoh punakawan (Semar bersama anak-anaknya: Gareng, Petruk dan Bagong, yang tidak ada dalam versi asli kedua epic tersebut).

Babak ini adalah “babak liar” dimana setiap tokoh punakawan bebas bertingkah dan berkata apa saja. Di sini semua kekonyolan, kejenakaan, membaur jadi satu dengan kecerdasan dan kearifan. Di sini tatakrama dan  sopan santun kehilangan batas-batasnya dengan “kekurangajaran”. Di babak ini pula kalimat-kalimat sindiran, kritikan, protes, dan petuah bijak muncul dalam beragam format (pantun, pepatah, atau tembang).  Pendek kata, goro-goro adalah babak yang dipenuhi tutur kata dan polah para pelakonnya  di luar standar yang dianut golongan mapan yang cenderung normatif dan kaku.

Menariknya, goro-goro muncul ketika perjalanan sebuah lakon sedang memasuki tahap mecekam dimana penonton sedang dikecamuki rasa penasaran ingin tahu akan perjalanan (takdir) setiap tokoh yang punya lakon. Sebab, biasanya dalam pementasan wayang, tidak ada adegan bunuh-membunuh sebagai solusi final suatu sengketa, sebelum adegan goro-goro.

Di sinilah goro goro memliki makna filosofis menurut kultur orang Jawa. Maknanya: Janganlah emosi kita diperturutkan dalam mengatasi setiap masalah. Lakukanlah semuanya dengan tenang, tanpa pertumpahan darah dan utamakan musyawarah. Cermati dulu masalah yang ada jangan mengambil kesimpulan sebelum mengetahui masalahnya.

Lantas apa relevansi filosofi goro-goro ini dengan sosok Sengkuni  yang dihembuskan Anas Urbaningrum?

Sengkuni adalah Mahapatih/Penasihat Kerajaan Astina yang terkenal dengan sifat-sifat buruknya: kejam, licik, munafik, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya hidupnya yang hedonis.  Hebatnya, tokoh yang sangat besar andilnya dalam penzoliman terhadap keluarga Pandawa itu, tidak mudah dilenyapkan karena dia adalah sosok sakti mandraguna.  Sengkuni hanya bisa ditaklukkan oleh Bima dalam sesi akhir Perang Baratayudha, dimana dalam tradisi pentas wayang hanya  terjadi setelah adegan goro-goro.

Anas hanya pelakon goro-goro?

Kembali ke sinyelemen Anas  bahwa dia sedang berhadapan dengan sosok Sengkuni, lalu kita kaitkan dengan kondisi Anas Urbaningrum saat ini, menarik dipertanyakan: sudah berada di babak apa Anas saat ini dalam pentas ‘mahabarata’ politik Partai Demokrat?  Sudahkah memasuki sesi akhir dimana dia akan menjelma menjadi lawan (penakluk)  Sengkuni yang sepadan? Atau dia hanyalah sosok pemeran goro-goro (punakawan) belaka?

Untuk itu menarik kita simak pendapat Prof. Dr. Cipta Lesmana, pakar komunikasi UI, dalam dialog pagi TV One (Senin, 25/2/2013) saat diminta menginterpretasikan pidato pengunduran diri Anas Urbaningrum.  Pernyataan Anas bahwa “ini bukanlah akhir, tetapi baru awal dari langkah-langkah besar; baru halaman pertama dari sebuah buku, dst….” menurut Cipta Lesmana dapat dimaknai bahwa Anas telah mengibarkan bendera perang.

Tentunya, jika perang itu kita kaitkan dengan kisah Mahabarata dan Sengkuni,  maka perang yang dimaksudkan tentulah Perang Baratayudha. Pertanyaannya, sudahkan Anas memiliki kekuatan yang memadai untuk menginisasi “perang (politik) baratayudha” di medan “kurusetra” politik Partai Demokrat?

Perang Baratayudha, dalam Mahabarata, adalah sebuah perang  Armageddon—terbuka, massif, dan brutal.  Dalam perang barata ini kedua pihak yang bertikai mengerahkan seluruh kekuatannya, dimana seluruh anggota keluarga yang bertikai (Kurawa dan Pandawa) turun ke medan laga.

Jika Anas beranggapan dirinya sebagai korban Sengkuni-Demokrat, berarti dia sedang mengindentifikasikan dirinya sebagai (pihak) Pandawa sedangkan lawan-lawannya adalah Kurawa. Pertanyaannya sudahkah kibaran benderanya itu mampu menyulut semangat perang pada diri keluarga-Pandawanya (baca: loyalis Anas)?

Faktanya, sudah tiga hari bendera dikibarkan, tak satupun Pandawa (loyalisnya) yang merapat ke barisannya. Sejauh ini baru satu saja yang ikut langkah Anas mundur, yaitu Ketua DPC PD Cilacap saja.  Lainnya,  termasuk orang-orang yang pernah mengancam akan walk out dalam Rapimnas PD tanggal 17-2-2013 lalu, jika Rapimnas itu mengagendakan pelengseran Anas, justru tidak terdengar lagi suaranya.

Jika begitu keadaannya, kibaran bendera perang Anas, masih jauh untuk membuahkan Armageddon, perang baratayudha.  Bahkan, pidato perpisahan Anas yang dinilai oleh banyak pengamat sebagai perlawanan Anas itu, sama sekali tak mampu meyakinkan public  bahwa Anas memang  punya loyalis di tubuh PD.

Karena itu, apa yang dipertontonkan Anas dengan segala sindiran via BBMnya seperti “politik para sengkuni, ojo dumeh, nabok nyilih tangan” atau pidato pegunduran dirinya yang sarat ‘tudingan’ dan ‘ancaman’  belum pantas disebut sebagai awal/sinyal perang bratayudha, melainkan hanya awal babak goro-goro.

Boleh jadi, takdir Anas di PD memang hanya sampai di babak goro-goro, karena kualifikasinya belum pantas menjadi pemeran utama lakon dimana Sengkuni terlibat di dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun