Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Jokowi, Katak Sawah yang Menakar Laut

17 September 2012   08:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:21 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Orang yang menggampangkan persoalan besar dan kompleks berdasarkan kisah sukses mengatasi persoalan yang jauh lebih kecil dan sederhana dapat diibaratkan seekor katak sawah yang mencoba menakar dan menantang lautan berdasarkan pengalamannya menghuni sepetak kolam ikan.

Kisah katak sawah yang menakar laut

Di kolam ikan itu, dimana dia lahir dan tumbuh, nyaris tak ada lubang, batuan, tumbuhan air, siput, ikan,atau pun ular air yang tidak dikenalnya. Sehingga ketika di kolam itu datang seekor katak yang sudah pernah berenang di lautan—akibat terbawa arus sungaisaat eceng gondok tempatnya hinggap di pinggir sungai hanyut hingga ke muara—si katak kolam pun terbahak mendengar kisahnya.

Katak Kolam: Bukankah lautan itu kumpulan air yang keadaan fisiknya mirip kolam tempat tingal ku ini?

Katak Sungai: Betul. Tapi rasa airnya sangat asin. Anehnya, ketika airnya aku minum kerongkongan ku justru bagai tercekik oleh rasa haus yang sangat. Selain rasanya yang aneh, air laut juga menimbulkan riak yang sangat besar yang sangat menguras tenaga saat aku berenang untuk melewatinya.

Katak Kolam: Ha ha ha… Itulah bedanyakau yang terbiasa hidup di pinggir sungai dengan aku yang hidup di kolam ini. Kalian penghuni tepian sungai, akibat teralu takut terbawa arus, tidak punya pengalaman menyelam ke dasar sungai. Kalian sudah bangga ‘nangkring’ di atas dedaunan rumput air. Akibatnya kalian tak mengenal seluk beluk sungai termasuk tidak mengenal ikan penghuni sungai tersebut.

Katak Sungai: Te…te…tapi….

Katak Kolam: Semua keadaan di laut yang kau anggap berbahaya itu semuanya sudah kualami dan kurasakan diI kolam ini. Dan… aku berhasil.

Katak Sungai: Hmmm….ough…(tertawa dalam hati)

Katak Kolam: Air asin pernah tertelan oleh ku ketika manusia pemilik kolam ini menumpahkan sisa gulai ke kolam ini untuk memberi makanikan piaraannya. Rasanya memang tidak enak, tetapi bdoh sekali kita jika menelannya, karena itu aku muntahkan.

Katak Sungai: Tapi air laut itu tidak hanya berbahaya bagi kita jika terminum. Terendam saja tubuh kita sudah cukupmembuat tubuh kita kering akibat dehidrasi. (Catatan: kulit katak bersifat semi permeable)

Katak Kolam: Ah,itu kan hanya perasaan mu karena panic akibat tak mahir berenang dan menyelam.

Katak Sungai: Hmm..Iyakah?

Katak Kolam: Selanjutya, soal riak air. Gelombang besar pernah kuhadapi ketika ada buah kelapa di pinggir kolam ini jatuh ke air. Perlu kau tahu saat itu bukan hanya suaranya yang menakutan, riaknya mempora-porandakan semua benda di kolam ini. Tetapi,degan ketrampilan ku meyelam hingga dasar kolam,riak dan percikan air bisa ku elakkan dengan mudah.

Katak Sungai: Bagaimana dengan ancaman ikan-ikan besar. Di laut itu banyak sekali yang siapmemangsa kita.

Katak Kolam: Ha ha..Itu akibat kau tidak mengenal ikan dengan baik karena kau tidak terbiasa. Di sini, kau lihat sendiri. Ikan mas itu,ukurannya sepuluh kali ukuran tubuhku bukan? Tapi lihatlah, dia begitu akrab dengan ku. Itu semua karena aku pandai bergaul dengan mereka.

Katak Sungai: Anggap saja diri ku ini bodoh. Tetapi penting kau ketahui bahwa dalam laut itu ribuan kali kedalaman kolam tempat mu ini. Gelombang laut itu ribuan kali lebih besar dari riak air kolam yang tertimpa buah kelapa. Dan…ikan di laut bukan seperti ikan mas yang hanya pandai menyantap kotoran pmanusia. Di laut ada ratusan macam ikan pemangsa berukuran besar yang siapmelumat semua hewan seperti kita ini. Aku bercerita berdasarkan pengalaman nyata. Terserah kau,mau percaya atau tidak.

Jokowi dalam debat cagub DKI

Dari debat kandidat Gubernur DKI yang digelar Metro TV Minggu (16/9/2012) dengantajuk “Jakarta Memilih: The Final Round” sangat kentara adanya perbedaan ‘jargon keyakinan’ yang mencolok antara dua kontestan yang berhadapan. Foke-Narasebagai kubu incumbent di satu sisi,versus Jokowi-Ahoksebagai‘penantang’ di sisi lain.

Tidak terlalu sulit untuk menjelaskan perbedaan tersebut. Sebagai incumbent, Fokejelas berbicara berdasarkan pengalaman panjangnya mengurus Jakarta mulai dari kursi kepala dinas, sekda provinsi, wagub, hingga gubernur.

Dengan pengalaman itu Foke tentunya sudah sangat paham akan beragam persoalan (social, budaya, politik, dan hukum) yang sangat mempengaruhi kinerja birokrasi /gubernur dalam membangun DKI Jakarta.

Agaknya, itu yang menyebabkan Foke selalu menyertakan penjelasan teknis, sehingga terkesan bertele-tele dandefensif, ketika menjawab pertanyaan/kritikan terhadap capaian-capaian pembangunan di Jakarta selama dia menjabat gubernur.

Sebaliknya, Jokowi , meski dinilai sukses menjalankan tugasnyasebagai walikotaSolo tetapi dia belum pernah menjabat gubernur. Karena belum pernah menjabat gubernur maka Jokowi belum merasakan apa yang pernah dirasakan para gubernur, terlebihGubernur Jakarta, yang nota bene satu-satunya gubernur di Indonesia yang levelnya disetarakan dengan anggota kabinet.

Karena belum merasakan kesulitan-kesulitan gubernur DKI, Jokowi bisa dengan gampangnnya mengkritisi kinerja Foke. Sebab ukuran yang dia gunakan adalah ‘kisah sukses’ dirinya sebagai walikota Solo.

Tetapisatu hal yang Jokowi lupa (atau sengaja dilupakan demi kepercayaan/dukungan pemilih)bahwa Kota Solo masih terlalu jauh untuk disetarakan dengan Jakarta.

Solo hanyalah kota kecil dengan penduduk kurang dari 600.000, dengan etnis relatif homogen (Jawa) yang memiliki karakter relatif mudah diatur. Dengan tantangan yang relatif lebih sederhana itu tentulah terlalu ‘berani’ dan terkesan takabur jika menyimpulkan bahwa mengatur Jakarta akan semudah megatur Solo.

Jakarta adalah miniatur Indonesia, semua suku bangsa, ras, dan pemeluk agama ada di sana dengan jumlah penduduk mendekati angka 10 juta (SP BPS 2010). Tambahan pula, semua sosok paling berpengaruh di republik ini(pejabat, pengusaha, politisi, perwakilan negara sahabat) ada di Jakarta. Kelompok elit ini banyak pula yang punya ‘kepentingan’ atas pembangunan di Jakarta. Ketika kepentingan mereka terusik oleh program pemprov, misalnya, mereka alih-alih menjad asset positif melainkan dapat menjadi ‘batu sadungan’ bagi pelaksanaan pembangunan di ibu kota negara itu.

Tantangan semacam inilah yang belum pernah dihadapi/dirasakan oleh Jokowi maupun pasangannya, Ahok. Karena itu mereka dapat dengan entengnya mengritik tak ubahnya seperti seorang pengamat yang lebih banyak menggunakanargumen teoritis dan retoris. Sehingga terkesan meremehkan (simplifying) persoalan Jakarta dengan takaran-takaran (kisah sukses) yang belum sepadan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun