Seorang teman yang anggota TNI AD bercerita kepada penulis bahwa sejatinya tugas anggota tentara itu hanya tiga macam: apel, latihan, dan perang.Hal itu sangat bisa dipahami mengingat fungsi tentara sebagai bhayangkari negara, taruhannya adalah nyawa. Doktrin itu terutama berlaku ketika negara sedang terlibat perang dengan negara lain.
Tetapi ketika negara dalam keadaan damai, tidak terlibat perang, tentu tidak ada salahnya jika tentara dilibatkan membantu rakyat dalam kegiatan pembangunan. Itulah yang menjadi dasar pelibatan anggota TNI dalam program ABRI Masuk Desa (AMD) di decade 1980-an di era orde baru; atau pengerahan anggota TNI dalam membantu masyarakat yang tertimpa musibah saat terjadi bencana alam.
Sungguh betapa mulia sebenarnya tugas seorang prajurit TNI itu. Di kala perang harus siap bertaruh nyawa dengan musuh. Di kala damai siap membanting tulang memeras keringat bersama rakyat.
Terkait dengan fungsi social tentara di kala damai itu, pertanyaannya adalah: persoalan masyarakat yang seperti apa dan kapan tepatnya anggota TNI layak diterjunkan untuk mengatasinya?
Ketika terjadi bencana alam anggota TNI dilibatkan dalam pencarian dan evakuasi korban atau restorasi pemukiman pasca bencana, sebagai rakyat kita patut berbangga dengan dedikasi para bhayangkari negara itu.
Tetapi ketika menyaksikan tayangan berita puluhan prajurit TNI dari Korem 031 Wira Bima, lengkap dengan atribut ketentaraannya, berjibaku menyelesaikan pembangunan venue olah raga menembak dalam ajang PON XVIII di Pakan Baru, Riau, terus terang bikin kita (pantas) sedih.
Sebagaimana dituturkan Letu CZI Asmara Hadi, penanggujawab personel TNI tersebut, bahwa merekadiperintahkan untuk membantu menyelesaikan arena lapangan menembak itu demisuksesnya pelaksanaan PON XVIII.
Aneh, sebab dalam hajatan pesta olahraga institusi TNI biasanya hanya dilibatkan dalam (koordinasi) pengamanan penyelenggaraan, bukan dalam proses pengadaan sarana dan prasarana pendukungnya.
Dalam konteks PON XVIII, public tahu bahwa tersendatnya pembangunan venue menembak itu disebabkan oleh (isu) korupsi yang melibatkan sejumlah anggota DPRD, kontraktor, dan pejabat di Dispora Riau.
Miris, ketika anggaran pembangunan sarana dan prasarana PON dijadikan bancakan para pejabat, politisidan kontraktor nakal, lalu pekerjaan terbengkalai, TNI diminta turun tangan dengan alasan klise “demi suksesnya sebuah hajatan yang bernama Pesta Olahraga Nasional”.
PON memang hajat nasional, akan tetapi hajatan itu tidak berkaitan langsung dengan persoalan hajat hidup rakyat banyak, melainkan lebih terkait dengan gengsi dan keuntungan materi segelintir orang.
Dalam hal ini TNI tak ubahnyaseperti orang yang kebagian tugas mencuci piring-piring kotor bekas orang pesta. Yang menikmati “pestanya” para pejabat, politisi, dan kontraktor nakal, sementara yang menghadapi “piring kotornya”adalah anggota TNI.
Bukan hanya sedih, tetapijuga ada rasa tak rela melihat para prajurit TNI—yang karena memang telah bersumpah akan selalu patuh pada atasan itu, “dieksploitasi” untuk kepentingan segelintir orang.
Sementara ada pihak lain (pemerintah/panpel) yang lebih tepat mengambil tanggung jawab pekerjaan tersebut. Pihak inilah yang seharusnya menanggung risiko (kerugian) demi suksesnya hajatan itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H