Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pencalonan Jokowi-Ahok, Perjudian Naif!

19 Maret 2012   16:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:45 1137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mau bekerja keras, berani, bersih, dan merakyat adalah sosok pemimpin yang didambakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia saat ini. Itu sebabnya setiap muncul (diberitakan) sosok pejabat public yang memiliki rekam jejak, prestasi dan integritas yang baik, maka sosok itupun seketika menjadi buah bibir. Sanjungan, pujian, sekali gus harapan masyarakat pun segera mengarah ke sosok tersebut.

Predikat itulah yang disandang pasangan Cagub DKI 2012-2017 yang diusung PDIP dan Gerindra, Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Siapa yang tidak tahu sepak terjang Jokowi yang sukses memimpin Kota Solo. Selalu tampil sederhana, mau menyatu dengan rakyat, dan mengedepankan kelembutan dan aspiratif dalam memecahkan masalah social masyakarat.

Demikian juga Ahok, meski tidak setenar Jokowi, mantan Bupati Belitung Timur ini akan selalu dikenang oleh rakyat Bangka Belitung sebagai sosok pemimpin yang mungkin sulit dicari tandingannya, khususnya menyangkut integritas dan kemerakyatan Putra Asli Belitung Keturuan Tonghoa ini dalam memimpin.

Pertanyaannya:


  • Cukupkah predikat bersih, merakyat, dan prestasi yang disandang keduanya saat mempin daerah masing-masing sebagai bekal memenangi pertarungan menuju kursi DKI-1?

  • Andai keduanya berhasil terpilih, akankah keduanya bisa sukses memimpin DKI?


Kedua pertanyaan itu perlu diajukan mengingat pencalonan Jokowi-Ahok itu tak ubahnya sebuah percobaan sekali gus perjudian.

Percobaan

Sebagai percobaan, pencalonan keduanya dapat dijadikan barometer untuk mengukur komitmen dan kedewasaan poitik rakyat. Jika benar rakyat DKI menginginkan sosok pemimipin yang bersih, aspirtatif, merakyat, dan mau bekerja keras sebagaimana yang dilabelkan pada keduanya (tak peduli apa suku, agama, dan rasnya) maka Jokowi-Ahok tentunya akan mulus terpilih.

Jika itu terjadi maka ke depan dapat dipastikan bahwa sosok calon pemimpin seperti itulah yang akan dicari oleh partai-partai politik untuk dijadikan icon agar laku 'dijual'. Mereka akan selalu berpikir ulang untuk menggadang orang-orang yang cacat sosial (terindikasi korupsi dan berpaham SARA sempit) untuk diorbitkan.

Tetapi sebaliknya, jika keduanya gagal total maka hikmah yang dapat dipetik adalah bahwa rakyat kita khususnya masyarakat DKI (boleh jadi) belum sepenuhnya berkomitmen kuat terhadap perlunya sosok pemimpin bersih, merakyat, dan aspiratif sebagaimana dilabelkan pada Jokowi dan Ahok. Boleh jadi rakyat masih mudah dipengaruhi oleh factor-X, uang atau janji politik kotor seperti yang marak terjadi dalam era reformasi ini. Artinya kedewasaan politik rakyat belum beranjak jauh dari alam kanak-kanaknya.

Jika itu yang terjadi maka dapat pula dipastikan bahwa ke depan partai politik akan semakin larut dalam pragamatisme politik. Apalah artinya jujur, bersih dan merakyat, jika tidak memiliki financial yang cukup atau jaringan politik yang kuat, jangan pernah bermimpi bisa menjadi pemimpin yang diterima rakyat. Implikasinya, politik uang dan sindikasi ala mafia akan semakin sulit dikikis.

Perjudian

Betul bahwa Jokowi layak disebut sukses memimpin Solo dan Ahok sukses memimpin Belitung Timur. Akan tetapi penting dicamkan bahwa Solo dan Belitung Timur bukan dan tidaklah sekompleks Jakarta.

Solo hanyalah kota kecil dengan penduduk kurang dari 600.000, dengan etnis relatih homogen (Jawa) yang memiliki karakter relatif mudah diatur. Demikian juga Belitung Timur, penduduknya hanya 106.000an saja dengan keragaman etnis telatif kecil pula. Sementara Jakarta adalah miniatur Indonesia, semua suku bangsa, ras, dan agama ada di sana dengan jumlah penduduk mendekati angka 10 juta (SP BPS 2010).

Berdasarkan fakta di atas jelaslah bahwa kadar tantangan yang akan dihadapi oleh Jokowi-Ahok di Jakarta jauh lebih besar ketimbang daerah yang pernah dipimpinnya. Tidak usahlah berbicara soal cara mengatasi banjir dan kemacetan, mengatasi aksi premanisme, peredaran narkoba, kerusuhan antar kampung, tawuran pelajar, penertiban pedagang kaki lima dan bangunan liar saja belum tentu bisa dilakukan Jokowi-Ahok semudah dan selancar seperti di daerah asalnya.

Berdasarkan besarnya tantangan yang akan dihadapi keduanya itu, maka tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa pencalonan Jokowi-Ahok menuju DKI-1 sebagai judi. Taruhannya adalah kredibilitas dan masa depan politik keduanya. Jika berhasil, maka bukan mustahil tidak perlu menunggu selesai masa jabatannya, di tahun 2014 nanti, keduanya pantas diduetkan menjadi presiden dan wakil presiden Indonesia.

Sebaliknya, jika gagal boleh jadi karir politik keduanya akan tamat. Mengapa? Kegagalan itu akan memunculkan komentar: Baru mengurus Jakarta saja mereka sudah gagal, bagaimana mengurus Indonesia?

Pengalaman berbicara: Sebuah keberhasilan belum tentu memperoleh pujian sementara kegagalan akan lebih mudah disisipi beragam stigma negatif. Sekali stigma negatif (gagal) melekat akan sulitlah untuk memulihkannya.

Faktor Ahok

Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah membuktikan diri bahwa etnis dan agama bukanlah ganjalan bagi karir poltiknya. Benar! Tetapi itu terjadi di Belitung Timur. Belum tentu di Jakarta. Fakta menunjukkan bahwa isu non-muslim dan keturunan Tonghoa yang disandangnya sudah disoal dan dihembuskan oleh lawan-lawan politiknya di Jakarta. Sekali lagi, predikat Ahok ini adalah barometer terbaik untuk menguji kedewasaan poltik rakyat DKI.

Hal lain yang bisa menjadi pedang bermata dua bagi Ahok dan Jokowi adalah mundurnya Ahok (atau dipecat?) dari Golkar sebagai konsekuensi pencalonannya oleh Grindra. Pemecatan ini bisa dijadikan dasar oleh calon dari Golkar untuk menyatakan kepada simpatisan mereka bahwa Ahok tidak loyal pada Golkar yang telah membesarkannya. Kampanye negatif itu bisa menyebabkan Ahok tidak akan mendapat dukungan suara dari para kader dan simpatisan Golkar DKI.

Akan tetapi, bila rakyat Jakarta memang sudah memiliki kedewasaan politik, maka mundurnya Ahok itu justru akan mendapat kredit point tersendiri. Bukan tidak mungkin keputusannya mundur dari Golkar akan dinilai sebagai sosok yang tidak serakah dan tidak terlalu mementingkan kemapanan diri demi sebuah misi mulia membangun birokrasi yang bersih.

Selamat bertarung Mas Joko dan Koh Ahok.

Semoga Sukses.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun