Mau bekerja keras, berani, bersih, dan merakyat adalah sosok pemimpin yang didambakan oleh sebagian besar rakyat Indonesia saat ini. Itu sebabnya setiap muncul (diberitakan) sosok pejabat public yang memiliki rekam jejak, prestasi dan integritas yang baik, maka sosok itupun seketika menjadi buah bibir. Sanjungan, pujian, sekali gus harapan masyarakat pun segera mengarah ke sosok tersebut.
Predikat itulah yang disandang pasangan Cagub DKI 2012-2017 yang diusung PDIP dan Gerindra, Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Siapa yang tidak tahu sepak terjang Jokowi yang sukses memimpin Kota Solo. Selalu tampil sederhana, mau menyatu dengan rakyat, dan mengedepankan kelembutan dan aspiratif dalam memecahkan masalah social masyakarat.
Demikian juga Ahok, meski tidak setenar Jokowi, mantan Bupati Belitung Timur ini akan selalu dikenang oleh rakyat Bangka Belitung sebagai sosok pemimpin yang mungkin sulit dicari tandingannya, khususnya menyangkut integritas dan kemerakyatan Putra Asli Belitung Keturuan Tonghoa ini dalam memimpin.
Pertanyaannya:
- Cukupkah predikat bersih, merakyat, dan prestasi yang disandang keduanya saat mempin daerah masing-masing sebagai bekal memenangi pertarungan menuju kursi DKI-1?
- Andai keduanya berhasil terpilih, akankah keduanya bisa sukses memimpin DKI?
Kedua pertanyaan itu perlu diajukan mengingat pencalonan Jokowi-Ahok itu tak ubahnya sebuah percobaan sekali gus perjudian.
Percobaan
Sebagai percobaan, pencalonan keduanya dapat dijadikan barometer untuk mengukur komitmen dan kedewasaan poitik rakyat. Jika benar rakyat DKI menginginkan sosok pemimipin yang bersih, aspirtatif, merakyat, dan mau bekerja keras sebagaimana yang dilabelkan pada keduanya (tak peduli apa suku, agama, dan rasnya) maka Jokowi-Ahok tentunya akan mulus terpilih.
Jika itu terjadi maka ke depan dapat dipastikan bahwa sosok calon pemimpin seperti itulah yang akan dicari oleh partai-partai politik untuk dijadikan icon agar laku 'dijual'. Mereka akan selalu berpikir ulang untuk menggadang orang-orang yang cacat sosial (terindikasi korupsi dan berpaham SARA sempit) untuk diorbitkan.
Tetapi sebaliknya, jika keduanya gagal total maka hikmah yang dapat dipetik adalah bahwa rakyat kita khususnya masyarakat DKI (boleh jadi) belum sepenuhnya berkomitmen kuat terhadap perlunya sosok pemimpin bersih, merakyat, dan aspiratif sebagaimana dilabelkan pada Jokowi dan Ahok. Boleh jadi rakyat masih mudah dipengaruhi oleh factor-X, uang atau janji politik kotor seperti yang marak terjadi dalam era reformasi ini. Artinya kedewasaan politik rakyat belum beranjak jauh dari alam kanak-kanaknya.
Jika itu yang terjadi maka dapat pula dipastikan bahwa ke depan partai politik akan semakin larut dalam pragamatisme politik. Apalah artinya jujur, bersih dan merakyat, jika tidak memiliki financial yang cukup atau jaringan politik yang kuat, jangan pernah bermimpi bisa menjadi pemimpin yang diterima rakyat. Implikasinya, politik uang dan sindikasi ala mafia akan semakin sulit dikikis.