Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Politik

‘Orang Jawa’ Belajarlah Arti Nasionalisme dari Penggergaji Tower PLN Aceh!

9 Januari 2012   17:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:07 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_162617" align="alignnone" width="404" caption="Menara PLN yang roboh digergaji (Foto KOMPAS.com)"][/caption]

Belum lagi kasus penembakan pekerja galian kabel fiber optic Telekom asal Jawa di Aceh terungkap, sepekan kemudian bumi rencong kembali dihebohkan oleh robohnya tower PLN di Aceh Utara akibat digergaji orang tak dikenal.

Berbeda dengan kasus penembakan, kasus penggergajian tower PLN sudah menunjukkan titik terang. Itu berkat tertangkapnya empat pemuda saat sedang beraksi “membongkar” tower telepon seluler di Lhokseumawe.

Meskipun tidak dapat disimpulkan langsung bahwa kedua kasus tersebut saling bertemali, tetapi secara tersirat ada pelajaran berharga dari kedua peristiwa yang terjadi dalam sepekan itu.

Dari kasus penembakan, terungkap bahwa semua korban (target) adalah para pekerja (buruh kasar) asal Pulau Jawa. Motif penembakan itu banyak sekali kemungkinannya, misalnya karena kepentingan politik lokal terkait pemilukada atau karena adanya sentimen lama GAM. Tetapi sulit dipahami mengapa harus membunuh para pekerja asal Jawa yang notabene bekerja untuk pembangunan telekomunikasi Aceh?

Dari kasus tertangkapnya empat pemuda pelaku penggergajian tower ponsel terungkap bahwa motif mereka mempreteli menara ponsel itu karena ingin mengambil komponen aluminium menara tersebut untuk dijual guna memenuhi kebutuhan ekonomi.

Jika benar pengakuan keempat pemuda itu melakukan perobohan menara ponsel dan/atau menara PLN karena desakan ekonomi, maka kejadian tersebut telah membuka mata kita bahwa di Aceh masih banyak orang tak memiliki pekerjaan sehingga harus “mencuri” besi dan aluminium untuk makan.

Disinilah isu nasionalisme relevan dikedepankan. Terutama relevan untuk ditanyakan kepada PT Telkom atau rekanannya. Jika benar di Aceh masih banyak pengangguran mengapa untuk melakukan penggaliankabel saja harus membawa tenaga kerja dari Jawa? Apakah di Aceh tidak tersedia tenaga buruh kasar yang bisa melakukan pekerjaan tersebut?

Seandainya para pekerja penggalian jalur kabel itu mayoritas dari Aceh, apakah mereka akan ditembaki? Atau, andai saja proyek penggalian itu disub-tenderkan kepada pemborong lokal, apakah juga mereka harus mendatangkan pekerja dari Jawa?

Jika jawaban kedua pertanyaan itu semuanya “tidak” maka jelas ada sesuatu yang perlu dikoreksi dalam kebijakan pelaksanaan proyek pembangunan di republik ini, khususnya proyek-proyek besar yang ditangani pusat (baca Jawa).

Sebagaimana diketahui banyak proyek-proyek besar yang lokasinya di daerah tetapi pemenang tendernya adalah perusahan swasta nasional atau BUMN. Nah perusahaan-perusahan kategori ini umumnya berkantor pusat di Jawa.

Mereka sepertinya tidak mau ambil risiko dengan merekrut tenaga lokal dimana proyek tersebut dibangun. Alasannya beragam, tenaga lokal kurang trampillah, kurang disiplinlah, dan sebagainya. Maka jalan pintasnya adalah dengan membawa tenaga kerja yang sudah mereka kenal skill dan disiplinnya.

Padahal, dalam konteks nasional hakikat pemerataan pembangunan bukan hanya soal menyebarkan objek fisik semata-mata, melainkan juga bagaimana mendistribusikan skill dan sikap professional itu ke daerah-daerah. Bila orang daerah tidak pernah diberi kesempatan untuk berlatih dan bekerja, dari mana mereka bisa memperoleh ketrampilan.

Di sinilah pentingnya peran pengusaha (pengusaha nasional) untuk memikirkan, merumuskan, dan menerapkannya. Tentu saja itu semua butuh dukungan (force) dari pemerintah untuk memastikannya.

Sudah saatnya BMUN dan Perusahaan Swasta Nasional (yang ada di Jawa) berhenti memilih jalan pintas dengan mengabaikan potensi SDM lokal dalam merekrut tenaga kerja untuk proyek-proyek di daerah.

Cukuplah pengalaman kita dengan Freeport, sebuah perusahaan pertambangan raksasa yang hanya bisa memamerkan kemewahan di tengah hutan belantara, tanpa membawa perubahan berarti bagi kemajuan dan kesejahteraan penduduk lokal di tanah Papua.

Hanya dengan kepekaan terhadap aspirasi rakyat di daerah yang disertai dengan pelibatan masyarakat lokal di dalam kegiatan pembangunan di daerahlah jargon-jargon nasionalisme mempunyai makna dan NKRI dapat dipertahankan dengan harga pasti, bukan dengan harga mati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun