Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Akal Menjadikan Manusia Lebih Hina dari Binatang

18 Mei 2011   14:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:30 1297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Prolog

Apa yang membuat manusia begitu angkuh mengklaim bahwa dialah spesies maklhuk paling beradab di muka bumi dan karenanya paling mulia di sisi Tuhan? Jawabnya: akal.Binatang tidak berakal dan hanya mengikuti naluri saja. Karenanya binatang tidak bisa membedakan mana yang baik, mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Itu sebabnya kita acap mendengar seseorang (manusia) menghardik atau mengumpat orang lain dengan kata-kata: “Binatang kau!” atau dengan menyebut nama binatangnya “Dasar babi lu!”

Kapan umpatan/makian/sarkasme dengan sebutan nama-nama binatang itu muncul? Ketika menyebut orang yang serakah,maka dikatakan seperti monyet atau babi. Untuk menyebut orang yang memiliki sifat sadis tanpa rasa welas asih, maka mendapat sebutan “kejam seperti harimau” dan seterusnya. Pendek kata, orang yang hanya menuruti nalurinya (nafsu) tidak ubahnya binatang.Benarkah keserakahan dan kesadisan adalah sifat binatang dan welas asih (cinta kasih) adab khas manusia?

Mana yang lebih sadis?

Harimau disebut kejam karena dia selalu membunuh untuk makan dengan cara menerkam dan mencabik-cabik mangsanya. Soal membunuh ini, harimau memang tidak punya pilihan (kodrat). Apakah manusia tidak melakukan hal yang sama untuk makan?Apa yang dilakukan manusia saat ia ingin makan daging ayam, sapi, atau ikan? Membunuh juga bukan?

Apakah harimau sadis. Harimau membunuh dengan cara menyergap dan menggigit tenggorokan mangsanya sampai tak bergerak. Kematian mangsanya berlangsung singkat. Bandingkan dengan cara nelayan menangkap ikan dengan kail atau jaring. Ikan yang terkait kail akan luka mulutnya, lalu sesampai di darat ikan tersebut dibiarkan menggelepar-gelepardan megap-megap (mungkin beberapa menit) sebelum nyawanya melayang. Apa yang dirasakan ikan saat diangkat dari air ke darat? Jawabannya, bayangkan saja diri kita dibenamkan ke dalam air lalu dibiarkan megap-megap sampai mati karena kehabisan napas.Berdasarkan cara membunuh mangsa itu, mana yang lebih sadis, haraimau atau manusia?

Mana yang lebih serakah?

Sifat harimau, sekali dia mendapat tangkapan (seekor babi misalnya), dia akan berhenti menangkap sampai bangkai babi tadi habis (bisa seminggu). Bandingkan dengan manusia. Sekali berusaha manusia selalu ingin mendapat lebih, bila perlu sekali dapat tidak habis untuk tujuh turunan. Berapa jumlah ikan yang terangkat oleh nelayan dalam sekali tebar jaring? Bisa ribuan. Jika demikian mana yang lebih serakah, harimau atau manusia?

Mana yang lebih berwelas asih?

Di Indonesia ini ada ungkapan klasik: sekejam-kejamnya harimau (terbukti salah) tidak pernah memangsa anak sendiri. Ya itu tepat untuk binatang, tetapi tidak bagi manusia. Ingat berapa banyak kasus bayi dibuang oleh ibu kandungnya dengan beragam alasan: malu karena si anak tidak ada bapak sahnya, atau karena idak mampu menghidupi si anak. Kedua alasan itu tidak terjadi pada binatang, tapi hanya pada manusia. Seekor induk ayam tidak mengeluh (lantasa membunuhi anaknya) mengasuh, merawat dan menghidupi lusinan anak. Sementara manusia, luar biasa biadabnya. Ada yang tega menggugurkan kandungan hanya karena takut tidak mampu menghidupinya.

Penutup

Semua tindakan manusia yang cenderung ingin mendapat lebih atau tega membunuh darah daging sendiri karena malu atau takut tak mampu menghidupinya adalah produk akal. Akallah yang membisikkan pada seorang wanita muda yang hamil di luar nikah bahwa punya anak tanpa bapak itu akan menimbulkan aib keluarga. Juga, akal pulalah yang membisikkan kepadanya bahwa penghasilannya tidak akan mampu menghidupi anak yang banyak.

Ah…manusia memang binatang. Binatang yang berpikir.

Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun