Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sengkuni di Sekitar Prabowo dan Jokowi

20 Juli 2014   10:39 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:49 725
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gonjang-ganjing politik di hari-hari menjelang pengumuman hasil Pilpres 2014 ini terasa membuat miris. Betapa tidak, perang pernyataan provokatif dari kedua kubu bukannya menyurut tapi justru makin memanas. Kedua kubu sama-sama menuding pihak lawan yang curang. Pihak Prabowo, sebagaimana diberitakan mewacanakan pemilu ulang karena mengganggap banyaknya kejanggalan dalam pelaksanaannya. Di pihak lain, Jokowi merespon wacana Prabowo itu dengan kalimat yang tidak kalah provokatif dengan menyatakan bahwa pihaknya yang dicurangi saja tidak minta pemilu diulang.

Sulit dipercaya jika pernyataan-pernyataan provokatif itu murni ungkapan hati-nurani kedua capres—Prabowo dan Jokowi. Sebab, sejauh yang acap kita dengar, Prabowo dan Jokowi sama-sama tergerak mencalonkan dirimenjadi presiden karena ingin berbakti kepada bangsa ini agar menjadi lebih sejahtera, kuat dan bermartabat. Karena itu mustahil keduanya akan tega membiarkan rakyat negeri ini terpecah belah.

Lantas mengapa sekarang mereka saling melontarkan pernyataan provokatif yang berpotensi memecah belah rakyat? Mengapa keduanya seperti tampak jauh dari sifat-sifat ksatria yang berjiwa besar?

Tragedi Wangsa Kuru

Yudhistira kecil, putra Pandu, adalah pewaris sah Tahta Hastinapura yang dikuasai pamannya Destarastra. Karena itu, sesuai tradisi di tanah Arya, setelah dewasa dia dinobatkan oleh sang paman menjadi Putra Mahkota. Penobatan Yudhistira, yang nota bene hanyalah keponakan Destarastra, sulit diterima oleh putra sulungnya yang bernama Duryudana.

Bagi Duryudana penobatan itu tidaklah adil baginya. Meski dia tahu bahwa ayahnya hanyalah menduduk tahta ‘titipan’ menunggu para Pandawa dia bersikukuh bahwa dia lebih berhak atas tahta Hastinapura. Mengapa Duryudana ngotot tidak mau mengakui Yudhistira?Karena otaknya sudah diracuni (indoktrinasi) oleh kakak kandung ibunya yang bernama Sengkuni.Sejak kecil Duryudana dicekoki sang paman bahwa dia lebih berhak atas Tahta Hastinapura.

Duryudana sejatinya adalah ksatria gagah perkasa yang sangat berpendirian kokok. Sayangnya pendiriannya itu didasari oleh pandangan salah oleh hasutan Sengkuni. Akibat pandangan yang salah itu Duryudana menjadi sosok arogan dan serakah. Segala macam cara dia gunakan demi menjegal Yudhistira mewarisi tahta yang dititipkan pada ayahnya.

Karena perseteruan makin menjadi-jadi, akhirnya dipecahlah kerajaan menjadi dua. Yudhistira bersama adik-adiknya (Pandawa) diberi hak menguasai Indraprastasementara Destarastra beserta anak-anaknya (Kurawa) tetap menguasai induk kerajaan Hastinapura.

Pembagian kerajaan bukannya membuat Yudhistira puas, malahan membuatnya semakin iri melihat kemajuan Indraprasta di bawah Pandawa, sehingga dia pun berambisi merebutnya dari Yudhistira. Singkat cerita, berkat akal bulus Sengkuni, Duryudana berhasil mengusir dan mengasingkan Pandawa dari Indraprasta. Upaya perebutan kembali Indraprasta oleh Pandawa itulah yang memicu perang dahsyat Baratayudha yang menewaskan keseratus anak Destarastra, yang berujung pada musnahnya Wangsa Kuru.

Orang baik pun terjerumus

Destarastra sejatinya adalah raja bijaksana, hanya saja kasih sayangnya sebagai ayah kepada anak-anaknya membuat dia terjebak dalam dilema. Di satu sisi dia tahu anaknya salah dan tahu pula siapa dibalik perilaku menyimpang anaknya itu, tetapi di sisi lain dia tidak sanggup (tidak tega) mencegah keinginan anaknya. Orang sebaik dan sebijak Destarastra pun takluk tak berkutik di hadapan penghasut sekelas Sengkuni.

Dengan asumsi, tepatnya harapan, bahwa kedua capres Prabowo dan Jokowi adalah pribadi-pribadi yang baik dan berjiwa besar maka saya lebih percaya bahwa perilaku provokatif keduanya sekarang ini lebih disebabkan oleh pengaruh bisikan (laporan dan hasutan) orang-orang di sekitarnya yang menyebut diri sebagai Tim Sukses itu.

Sebagaimana kita ketahui, di kedua kubu capres itu terdapat orang-orang opurtunis, penjilat, dan petualang politik. Orang-orang ini kadang tak segan berbohong, tak malu menjilat, tak pantang berkhianat, yang penting tujuan dan kepentingannya tercapai. Itulah pandangan hidup Sengkuni. Dia tidak peduli orang lain bakal susah yang penting hidupnya senang.

Nasib Destarastra dan Kurawa memang tragis. Tetapi itulah kehidupan. Di dalamnya penuh dengan jebakan dan godaan, rayuan dan hasutan.Berhadapan dengan manusia Sengkuni, jangankan kita yang penuh dengan hasrat dan ambisi duniawi ini, manusia sebaik dan sebijak Destarastra, Drona, dan  Bhisma pun bisa terjebak, takluk, tak berdaya.

Akhirnya, kepada Bapak Prabowo dan Jokowi, kami hanya bisa berharap dan mengingatkan. Hati-hati menerima bisikan atau laporan dari orang-orang yang berwatak Sengkuni di sekitar anda. Meski terdengar merdu dan logis kadang isinya penuh manipulasi dan kebohongan. Menerimanya tanpa kebijaksanaan bisa berakibat fatal bagi rakyat dan, terutama, bagi citra diri anda sendiri.

Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun