Mohon tunggu...
M Kanedi
M Kanedi Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya sebutir debu semesta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Menyerah? Betapa Tidak Etisnya Mahfud MD!

21 Juli 2014   06:45 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:44 1253
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Makin menarik saja fenomena politik menjelang hari H pengumuman hasil pilpres 2014. Salah satunya adalah pernyataan Mahfud MD (MMD) di hadapan wartawan. Poin-poin penting pernyataan itu adalah:

ØBahwa dia sudah gagal memenangkan Prabowo-Hatta;

ØBahwa tugasnya mengemban mandat sebagai ketua tim pemenangan sudah berakhir pada tanggal 9 Juli;

ØProses politik setelah itu dia tidak (mau) ikut;

ØAdapun soal wacana pemilu ulang dan pengaduan perkara ke MK oleh kubu Prabowo-Hatta, MMD menyatakan bahwa semua itu tidak ada gunanya.

Pernyataan MMD di hadapan wartawan itu bisa dimaknai dari empat sudut pandang.  Pertama, dari sudut pandang kubu Jokowi-JK (JJK). Kedua, dari sudut pandang masyarakat pemilih. Ketiga dari sudut pandang internal Tim Pemenangan Prabowo-Hatta (PH) sendiri. Keempat dari sudut pandang komunikasi-politik.

Efek positif

Dari sudut pandang kubu Jokowi-JK (JJK), pernyataan MMD tentu memberikan kepercayaan diri serta menebalkan keyakinan kepada Tim JJK bahwa mereka telah menang. Efek positifnya, para pendukung dan simpatisan JJK tidak perlu lagi merasa gusar akan keamanan suara jagoannya. Dengan begitu maka mereka pun tidak perlu lagi mewacanakan ‘perlawanan’ terhadap isu-isu bahwa pihak lawan akan mengerahkan laskar itu atau laskar ini.

Dari sudut pandang rakyat pemilih, baik pemilih PH  maupun pemilih JJK, pernyataan MMD itu bisa menjadi referensi sekali gus pembuka mata mereka bahwa pilpres telah usai dengan hasil yang sudah final. Dengan tersadarnya masyarakat bahwa presiden telah ‘terpilih’ maka efek positifnya adalah masyarakat tidak lagi memiliki rasa penasaran akan hasil akhir pilpres. Dengan demikian mereka, baik pemilih PH atau JJK  tidak akan terkejut  lagi mendengar pengumuman resmi  KPU pada 22 Juli nanti. Kondisi itu tentunya akan meringankan tugas POLRI dan TNI.

Singkat kata, dari sudut pandang kubu JJK dan rakyat pemilih, pernyataan MMD bisa dipandang sebagai sikap gentle, jiwa besar, dan negarawan.

Tidak etis

Sebaliknya, dari sudut pandang internal kubu PH, pernyataan MMD itu bisa dinilai tidak etis. Ketidak-etisannya didasarkan pada posisinya sebagai Ketua Tim Pemenangan. Dalam dunia ketentaraan posisi MMD tersebut analog dengan komandan. Dalam tradisi pasukan perang, posisi MMD itu adalah panglima.

Sebagai komandan atau panglima perang, tidaklah pantas dia melemahkan mental pasukannya hanya karena melihat keunggulan persenjataan lawan atau karena mengetahui tingginya semangat (keberanian) tempur lawan. Alih-alih memompa semangat tempur pasukannnya, dia malah  menyerukan untuk menyerah dan meletakkan senjata lalu  lari meninggalkan medan pertempuran. Menurut tradisi (moral) militer, prajurit seperti itu disebut pengecut.

Sifat pengecut bukanlah sifat kesatria, tapi sifat pecundang. Ksatria tidak boleh melanggar sumpah. Jika seorang ksatria sudah bersumpah membela seseorang maka apa pun kondisi orang tersebut dia wajib membelanya sampai mati. Itulah gambaran ksatria sejati seperti digambarkan dalam kisah-kisah pewayangan Ramayana dan Mahabharata  lewat karakter Kumbakarna dan Bhisma.

Dengan menerima mandat untuk mengetuai Tim Pemenangan Prabowo-Hatta, secara moral MMD terikat ‘sumpah’ memperjuangkan, membela, dan memenangkan pasangan tersebut. Apa yang dilakukan MMD dengan menyerah kalah sebelum pertempuran usai (yang batas waktunya adalah pengumuman KPU 22 JUli) adalah tindakan pengecut, mengingkari mandat.

Lain ceritanya jika pernyataan itu dikeluarkan setelah pengumuman KPU,  maka MMD pantas disebut sebagai komandan yang kesatria,  berjiwa besar.

Cari selamat

Dari sudut pandang komunikasi politik, pernyataan MMD bisa pula dimaknai  cari selamat. Sebab, dengan menyerah kalah dan menyarankan agar kubu PH tidak meneruskan wacana pemilu ulang dan memperkarakan hasil pilpres ke MK  terkesan MMD  sedang menjilat ludah sendiri dan berusaha mengambil hati kubu lawan. Untuk apa? Tentu untuk kepentingan, masa depan, karir politik dan/atau profesi dirinya sendiri.

Boleh jadi setelah melihat perkembangan  hasil rekapitulasi KPU dia sangat menyadari bahwa kemenangan JJK mustahil bisa dihambat. Jika dia terus ngotot memperjuangkan hasrat kubu PH—yang  bagai menegakkan benang basah itu, tentu dia akan menjadi “seteru abadi”  kubu JJK. Itu sama artinya menutup jalan karirnya selama 5 tahun ke depan.

Karena itu satu-satunya cara untuk meyakinkan kubu JJK tentang posisi politik dirinya adalah dengan mengeluarkan pernyataan menyerah dan (seakan) berlaku bijak dengan menyarankan agar kubu PH tidak usah bermimpi menjegal JJK lewat pemilu ulang atau berpekara di MK. Dan, itu akan memiliki nilai strategis jika dikemukakan sebelum  22 Juli. Jika dia melakukannya setelah itu, maka pengakuannya atas kemenangan JJK  sudah terlambat, tidak bernilai lagi.

Salam Kompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun