Mohon tunggu...
Andhika Alexander
Andhika Alexander Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Pascasarjana Program Magister Profesi Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Fakta Malam Kemerdekaan di Rumah Maeda

17 November 2014   16:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:36 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejarah mengajarkan kita bahwa sebesar apapun bangsa itu, pasti diawali dengan peristiwa-peristiwa penting di dalamnya. Meski mesin waktu (mungkin) belum ditemukan, museum menjadi sumber salah satu sumber informasi terhadap persitiwa tersebut.

Mengunjungi museum mungkin bagi sebagian orang adalah aktivitas yang membosankan apalagi dilakukan di weekend. Tapi, tidak buat saya. Hobi travelling saya mengantarkan saya melihat salah satu peristiwa epic yang terjadi, tepatnya malam sebelum kemerdekaan Indonesia.

Saya mengunjungi kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda, kepala kantor penghubung antara angkatan laut dengan angkatan darat Jepang. Ialah yang membantu Indonesia mencapai kemerdekaannya dengan meminjamkan kediamannya sendiri sebagai tempat merumuskan teks proklamasi. Jasanya yang sederhana itu menghantarkan Indonesia menjadi salah satu bangsa besar yang mulai mendapat perhatian dari dunia internasional.

Saya mendapat berbagai pelajaran dan tambahan informasi setelah mengunjungi spot tersebut. Apalagi setelah mendapat beberapa informasi yang mungkin saja tidak tercantum di buku pelajaran manapun dari tour guide disana. Saya tidak mau menyimpan informasi itu sendiri, karena inilah asal usul kemerdekaan kita, inilah asal usul negara kita, inilah asal usul kita.

Berikut, 10 fakta terkait perumusan Teks Proklamasi di kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda...

Tahukah kamu, jika

1.Gedung yang menjadi rumah Pak Maeda didirikan sekitar tahun 1920-an oleh arsitek Belanda J.F.L. Blankenberg. Di kawasan tersebut, terdapat 4 rumah yang modelnya sejenis. Hingga sekarang, hanya tersisa 3 saja karena gedung satunya dijadikan Taman Suropati. Salah satu rumah tersebut adalah Kedubes Amerika Serikat. Pada tahun 1931, pemiliknya atas nama PT. Asuransi Jiwasraya. Ketika pecah Perang Pasifik, gedung ini dipakai British Consul General sampai Jepang menduduki Indonesia. Pada masa pendudukan Jepang inilah, gedung ini menjadi tempat kediaman Pak Maeda. Setelah kemerdekaan, gedung ini tetap menjadi tempat kediaman beliau hingga September 1945. Setelah kekalahan Jepang, gedung ini menjadi markas tentara Inggris. Seiring berjalannya waktu, gedung ini sering digunakan sebagai tempat perundingan antara Indonesia – Belanda, yakni pada 17 November 1945 dan 7 Oktober 1946. Setelahnya, gedung ini diserahkan kepada Departemen Kuangan dan pengelolaannya oleh Perusahaan Asuransi Jiwasraya. Tahun 1961-1981, gedung ini dikontrak oleh kedutaan Inggris. Tahun 1984, gedung ini oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Nugroho Notosusanto menginstruksikan kepada Direktorat Permuseuman agar merealisasikan gedung bersejarah ini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi (penetapan resmi gedung ini menjadi museum adalah pada tanggal 24 November 1992, melalui SK Mendikbud No. 0476/1992).

2.Setelah menyambut rombongan Pak Soekarno di rumahnya, Pak Maeda langsung meninggalkan mereka pergi ke ruang tidurnya. Pak Maeda tidak melakukan intervensi apapun terhadap perumusan teks proklamasi. Teks proklamasi adalah asli buah pikiran dari ketika perumus, Pak Soekarno, Pak Hatta dan Pak Ahmad Soebardjo.

3.Perumusan teks proklamasi ditulis oleh Pak Soekarno di secarik kertas dengan menggunakan pensil. Perumusan teks proklamasi dilakukan di ruang makan. Tidak ada orang lain di dalam ruangan tersebut selain mereka bertiga, Pak Soekarno, Pak Hatta dan Pak Ahmad Soebardjo.

4.Pak Maeda tidak memiliki mesin ketik. Oleh sebab itu, ia menyuruh ajudannya untuk mencarikan mesin ketik. Sampai sekarang, tidak diketahui mesin ketik siapa yang dipinjam dan digunakan Pak Sayuti Melik mengetik naskah proklamasi. Satu-satunya informasi yang ada adalah mesin ketik tersebut buatan Jerman.

5.Pak Sayuti Melik mengadakan perubahan tiga kata pada rumusan proklamasi yang digagas Pak Soekarno, Pak Hatta dan Pak Ahmad Soebardjo. Tiga kata tersebut adalah, (1) kata ‘tempoh’ menjadi ‘tempo’; (2) kata ‘Wakil-wakil bangsa Indonesia’ menjadi ‘Atas nama bangsa Indonesia’; (3) dan penulisan hari, bulan dan tahun.

6.Setelah mengetik rumusan teks proklamasi, Pak Sayuti Melik meremas-remas rumusan asli teks proklamasi yang ditulis Pak Soekarno, dan membuangnya. Namun, Pak B.M. Diah mengambilnya dan menyimpannya. Ia sadar bahwa rumusan tersebut adalah saksi sejarah yang sangat penting bagi kemerdekaan Indonesia. Jika rumusan asli proklamasi tersebut tidak disimpan Pak B. M. Diah, pasti akan banyak pertanyaan salah satunya, “kok bisa teks proklamasi langsung diketik seperti itu?”

7.Setelah isi teks proklamasi disepakati, terdapat perdebatan, siapa yang akan menandatanganinya. Muncul tiga opsi, (1) seluruh peserta yang hadir disitu, yaitu sekitar 40-50 orang; (2) perwakilan tiap kelompok pejuang kemerdekaan; (3) ketua dan wakil kelompok pejuang kemerdekaan. Akhirnya, diputuskan Pak Seokarno dan Pak Hatta yang menandatangani naskah tersebut atas nama Bangsa Indonesia.

8.Pak Soekarno dan Pak Hatta menandatangani teks proklamasi di atas piano, bukan di atas meja.

9.Setelah ditandantangani, muncul perdebatan lagi, yaitu dimanakah teks proklamasi tersebut akan dibacakan? Awalnya, akan dilaksanakan di Lapangan Ikada (sekarang bernama Lapangan Banteng). Namun, karena alasan keamanan, dipindahkan ke rumah kediaman Pak Soekarno, Jl. Pegangsaan Timur No. 56 dan akan dibacakan tepat pukul 10.00. Sayang, kita tidak bisa melihat rumah Pak Soekarno sekarang. Jalan tersebut pun berubah nama menjadi Jalan Proklamasi No. 1.

10.Peristiwa perumusan teks proklamasi berlangsung menjelang waktu subuh, hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan.

Kita tidak bisa mengetahui seluruh kejadian sejarah. Sebagai orang awam, informasi yang bisa dipercaya adalah dengan mengunjungi spot-spot itu sendiri, menggali data di perpustakaan dan sebagainya. Akan tetapi, mendingan kita hanya mengetahui setitik sejarah itu daripada kita menjadi tidak mau tahu tentang sejarah itu sendiri.

Pak Soekarno berpesan, Bangsa yang Besar adalah Bangsa yang menghargai sejarahnya.

Warmest Regards,

Andhika Alexander Repi

Note: informasi di atas diperoleh penulis dari wawancara dengan guide di gedung museum tersebut dan dari brosur yang diberikan pihak museum.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun