Mohon tunggu...
Iskandar R Asyahi
Iskandar R Asyahi Mohon Tunggu... -

Ayahku Ramli Abusyahi dari Lhoksukon, Ibuku Maryani Ali dari Meureudu, Istriku Ubiet Junita Sari dari Montasiek. Semuanya nama tempat di Aceh. Anakku Nada Aliefya Safira, Fatih Muhammad Aufa dan Fahri Muhammad Azzam. Semata karena-NYA aku sempat berada di stpdn, unibraw, unsyiah dan ui. KarenaNYA aku berbuat dan kepadaNYA aku menuju

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keburukan Pilkada Langsung

16 November 2010   12:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:33 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya mengajak kita untuk melihat model rekruiment pemimpin (pemerintahan) dari sisi sosiologis. Mengapa banyak dampak negatif dari penerapan pemilihan langsung? Mengapa tidak seperti di Barat. Jawabannya karena model ini memang bukan "pakaian"nya orang timur yang kental dengan nilai-nilai emosional, tradisional dan kekerabatan patriarchi. Sedangkan Barat melakukan sesuatu secara rasional dan dilengkapi dengan mentalitas sportif dalam even kompetisi.

Lalu, mengapa model pemilihan langsung dari Barat diadopsi? Karena Barat identik dengan kemajuan dan moderenitas. Sejalan dengan itu, Baratpun kerap menuding kultur Timur sebagai simbol dari peradaban primitif dan tradisional. Hegemoni Barat dengan kuatnya mendikte pemimpin negara-negara dunia ketiga dalam gelombang pembangunan. Melalui Bank Dunia, dana pinjaman menjadi senjata pamungkas untuk memastikan Timur rela meninggalkan simbol-simbol primitifnya.

Disisi lain, segelintir elit Indonesia juga salah kaprah, nyaris kehilangan jati diri dan kepekaan.

Semua hal yang bersumber dari Barat, di"copy" sebagai jalan pintas untuk bisa disebut maju dan moderen dalam tatanan global. Mau bukti? Meskipun kita hancur-hancuran dengan model demokrasi langsung begini rupa, namun predikat Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar saat ini kerap disanjung oleh elit dunia, termasuk ungkapan Presiden Obama di Balairung UI baru-baru ini. Meskipun sejatinya, Amerika sekalipun tidak memilih langsung Presidennya.

Prinsip demokratitasasi mengedepankan hak rakyat untuk memilih dan mengganti pemimpinnya secara berkala. Hal itu dapat dilakukan secara langsung atau dapat juga diwakilkan melalui sebuah majelis/dewan perwakilan (demokrasi perwakilan).

Model pertama, seperti saat ini sedang kita jalani.

Model kedua, adalah model demokrasi perwakilan. Seperti yang pernah kita terapkan dan mungkin akan diterapkan kembali.

Secara sosiologis saya melihat bahwa pemilihan model langsung telah menimbulkan beberapa dampak, diantaranya :


  • Perpecahan masyarakat menjelang dan pasca pemilihan. Kesetiaan, kekaguman dan keyakinan kelompok masyarakat pemilih kepada salah satu calon sifatnya permanen. Sehingga walaupun calon yang diandalkan dinyatakan kalah dalam kompetisi Pilkada namun hal itu tidak tidak menyurutkan kesetiaannya. Bahkan kesetiaan ini berubah wujud menjadi antipati dan menggangu kerja Pemimpin yang mengalahkan calon andalannya. Kondisi ini menimbulkan friksi/ perpecahan hingga pemimpin tersebut berakhir masa jabatan baik secara konstitusional maupun non konstitusi.
  • Perasaan malu dan jatuhnya harga diri yang ditanggung calon pemimpin yang dinyatakan kalah kompetisi mampu menenggelamkan sportifitas. Belum lagi, beban keuangan yang tidak terbayang darimana harus ditutup. Perasaan malu mendorong calon pemimpin dan lingkaran tim sukses untuk mengajak masa pendukung untuk menolak hasil pemungutuan suara. Hal ini terlepas dari ada tidaknya kecurangan yang dilakukan oleh pihak lain. Secara nyata prinsip masyarakat Timur yang senantiasa menjunjung tinggi harga diri dan kehormatan telah diabaikan. Apalagi yang dipermainkan adalah kehormatan dan harga diri seorang tokoh yang selama ini menjadi panutan dan pujaaan sekelompok masyarakat, dapat dibayangkan rusaknya harmonisasi masyarakat.
  • Pragmatisme masyarakat pemilih. Uang menjadi senjata bagi calon pemimpin untuk memastikan suara rakyat beralih pada mereka. Kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat yang morat-marit memungkinkan praktek uang tumbuh subur. Pemilih lebih memilih barang nyata berupa "uang" daripada seperangkat program yang ujung-ujungnya dapat menghasilkan peningkatan pendapatan bagi mereka. Rakyat mau main aman, walau sedikit inilah yang cepat dan bisa dipegang. Soal uang bukan hanya hanya menyasar si masyarakat miskin, mereka yang telah kaya pun tidak menolak disuap. Budaya hidup materalisme hedonism telah menggiring siapapun untuk berjuang mencari uang dengan segala cara. Bahkan menumpuk uang sebanyak-banyaknya di rekening atau di box deposite. Seperti ditunjukkan Gayus.
  • Makin seringnya pemimpin atau mantan pemimpin dipenjara menimbulkan krisis kemuliaan. Mengapa? Kompetisi Pilkada menelan biaya tak sedikit. Dana pribadi tak cukup, menjalin kolaborasi dengan pengusaha adalah jalan keluar paling cepat. Praktek hutang budi pada sponsor yang telah memodali mereka hingga duduk di kursi pemimpin membuat pemimpin serba salah dalam tata kelola keuangan publik. Kompensasi yang mungkin adalah memberikan proyek-proyek pemerintah kepada pemodal, meskipun melanggar aturan main tender. Muara akhir adalah penjara bagi sang pemimpin. (lihat pendapat Dirjen Otda menyangkut Revisi UU 32 yang dikutip media)


Apakah dengan model perwakilan, tidak ada praktek uang? Ada. Namun dampak yang ditimbulkan berbeda dengan pemilihan langsung. Friksi di akar rumput dapat tercegah. Disisi lain, kualitas pemimpin yang dipilih oleh sekelompok orang yang minimal berpendidikan SLTA /Diploma tentu akan berbeda dengan pemimpin yang dipilih secara massal dengan rentang jarak pendidikan pemilih yang demikian besar.

Saya punya sebuah tamsilan soal yang satu ini. Ibarat sekelompok orang berdiri di sebuah bukit yang memiliki anak tangga, mereka berdiri sesuai dengan tingkat pendidikan dan pengalaman hidupnya. Semakin tinggi pendidikan dan semakin banyak pengalamannya maka ia menempati tempat berdiri di anak tangga yang lebih tinggi. Di hadapan mereka terbentang padang ilalang dan pepohon perdu, setelah itu lautan. Semakin tinggi tempat berdiri mereka, maka semakin jauh daya jangkauan pandangan dan pikirannya.

Demikianpun, terdapat perbedaan dimensi pandangan terhadap suatu perkara antara mereka yang berpendidikan tinggi dan kenyang dengan pengalaman hidup dengan yang tidak. Intinya mereka berbeda dalam melihat hakikat. Karena itulah persoalan memilih pemimpin serahkanlah kepada sekelompok orang yang memahami hakikat apa sebenarnya pilkada itu.

Wallahu'alam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun