Mohon tunggu...
Zaki Iskandar
Zaki Iskandar Mohon Tunggu... Auditor - YNWA!

YNWA!

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Bandar Udara Wirasaba, Riuh Dahulu Bising Kemudian

26 Februari 2016   14:54 Diperbarui: 13 Januari 2023   18:35 1962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maju mundur cantik. Mungkin begitulah ungkapan yang lumayan pas untuk menggambarkan perkembangan status Pangkalan Udara (Lanud) TNI AU di Desa Wirasaba, Purbalingga, yang tengah diikhtiarkan untuk diubah menjadi bandar udara komersial oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan lima pemerintah kabupaten.

Pada akhir tahun 2015, keteguhan sikap jajaran pimpinan Kementerian Perhubungan yang mempertahankan keputusan untuk menolak permohonan perubahan status lanud tersebut, telah membuat sebagian masyarakat Banyumas Raya frustrasi. Sebelumnya, masyarakat Banyumas Raya yang sudah sejak lama membutuhkan kembalinya sarana dan prasarana transportasi yang lebih cepat dari kereta api, merasa gembira dengan wacana menjadikan Lanud Wirasaba sebagai infrastruktur yang bisa melayani penerbangan umum.

Sekedar informasi, pada pertengahan dekade 80-an, bersamaan dengan pelaksanaan pembangunan waduk dan PLTA Panglima Besar Jenderal Sudirman di Mrica, Banjarnegara, pernah ada penerbangan berjadwal jurusan Halim Perdana Kusuma - Lanud Wirasaba, pergi pulang. Bisa menghemat waktu kurang lebih 6 jam jika dibandingkan dengan menggunakan KA Bima yang paling kondang saat itu.

Maka cukup masuk akal jika sebagian masyarakat jadi senewen tatkala Kementerian Perhubungan tidak mengabulkan permintaan terkait komersialisasi Lanud Wirasaba tersebut. Alasan instansi pimpinan Pak Jonan bahwa Wirasaba terlalu dekat lokasinya (50 km lurus) dari Tunggul Wulung di Kabupaten Cilacap, yang terlebih dahulu berstatus sebagai bandara komersial, memang benar adanya. Regulasi menyatakan demikian. Namun di sisi lain, substansi dari kehendak masyarakat Banyumas Raya juga tidak keliru-keliru amat.

Palu pun akhirnya diketok dengan keputusan bahwa Pemprov Jateng lebih memilih Wirasaba sebagai bandar udara komersial di Jateng bagian selatan. Tunggul Wulung yang mempunyai panjang landasan kurang dari 1.500 meter itu akan diusulkan untuk diubah statusnya menjadi bandara khusus VVIP dan bandara pelatihan.

Perang Opini

Tak ayal, “kisruh” Bandara Wirasaba tersebut menjadi isu seksi yang menjadi santapan media lokal dan regional. Silang pendapat pun terjadi di tengah-tengah masyarakat.

Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamuji, seperti diberitakan oleh Suara Merdeka, menilai bahwa Bandara Tunggul Wulung sangat mendukung perkembangan investasi dan perekonomian di Cilacap sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut. Alasannya, pertama, kegiatan bongkar muat sapi impor yang semula dilakukan di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta dan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang akan dipindahkan ke Pelabuhan Tanjung Intan Cilacap. Kedua, pembangunan poros maritim akan dimulai dari Cilacap, mengingat Tanjung Intan adalah satu-satunya pelabuhan alam di Pantai Selatan. Ketiga, merespons program pembangunan infrastruktur Gubernur Jateng untuk mendukung investasi di Cilacap dan Jateng selatan.

Sementara itu Parsiyan, anggota Komisi B DPRD Cilacap, dalam media yang sama mengatakan bahwa sebenarnya Bandara Tunggul Wulung lebih potensial dikembangkan menjadi bandara komersial ketimbang Wirasaba. Katanya, "Pertumbuhan industri di Cilacap juga sangat mendukung pengembangan Bandara Tunggul Wulung. Sebab jika Tunggul Wulung dikembangkan dan pesawat besar bisa mendarat para pelaku bisnis di Cilacap akan lebih mudah mengakses Tunggul Wulung ketimbang Wirasaba. Begitu pula para pelaku bisnis di wilayah Jawa Barat bagian timur.”

Jika membutuhkan kajian, lanjut Parsiyan, pusat diminta menurunkan ahli. Untuk memberi saran mana yang lebih layak: Cilacap atau Purbalingga? Ia meyakini bahwa pengembangan Tunggul Wulung akan memberi multiplier effect luar biasa bagi pertumbuhan ekonomi Jateng bagian selatan. Juga Tunggul Wulung diklaim jauh lebih potensial. “Selama ini bandara ini juga sudah menjadi bandara kebanggaan seluruh masyarakat," ujarnya lagi.

Lebih lanjut, Parsiyan meminta Kementerian Perhubungan, Pemprov Jateng, dan Pemkab Cilacap duduk bersama untuk membicarakan masalah tersebut. "Beri kesempatan Cilacap memaparkan potensi pengembangan Tunggul Wulung dan peluang-peluang ekonominya," katanya.

Di sisi lain, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengemukakan sejumlah alasan mengapa memilih Wirasaba. Dalam pernyataannya yang dikutip Suara Merdeka, dia mengatakan bahwa Tunggul Wulung sulit dikembangkan karena halangan tower PLTU dan keterbatasan lahan. "Biarkan Tunggul Wulung tetap hidup dan di sini (Wirasaba) bisa hidup. Toh, pertumbuhan Purbalingga, Banyumas, dan Banjarnegara luar biasa. Ini yang bisa untuk menghidupkan wilayah Jateng Selatan," katanya.

Menurut Ganjar, Jawa Tengah bagian selatan membutuhkan sarana transportasi yang cepat, termasuk bandara. Pasalnya, prospek investasi dan industri bagian selatan bagus. Purwokerto juga sudah menjadi ibu kota Kabupaten Banyumas yang pertumbuhannya cepat. Kemudian Purbalingga ada industri pembuatan bulu mata dan rambut palsu yang sudah ekspor.

Mana yang Lebih Strategis dan Potensial?

Mengutip informasi dari Kepala Kantor Unit Penyelenggara Bandar Udara (UPBU) Kelas III Tanggul Wulung, Faisal Marasabessy, rata-rata jumlah penumpang Tunggul Wulung per bulan adalah sekitar 1.160 orang atau setahun 12.000. Jumlah ini belum bisa dikatakan ramai, apalagi jika mengingat bahwa bandar udara ini mulai melayani penumpang umum sejak akhir tahun 1978. Dengan jumlah setahun kurang lebih sebanyak 12.000, maka rerata penumpang hanya 30 sampai 40 orang per hari. Timbul pertanyaan, kenapa bisa demikian?

Bandar Udara Tunggul Wulung berlokasi di Kecamatan Jeruk Legi, Kabupaten Cilacap. Dilihat dari letak geografisnya, Tunggul Wulung relatif bisa dikatakan sebagai bandara di “pojok” wilayah Provinsi Jateng. Apakah karena letaknya yang “mojok” itu menyebabkan banyak calon penumpang malas menggunakan transportasi udara dari sana?

Muncul dugaan, masyarakat yang tinggal di Jawa Tengah bagian selatan – minus Cilacap – berasumsi bahwa terbang dari Cilacap ke Jakarta akan memakan waktu tempuh yang tidak terlalu jauh berbeda apabila dibandingkan dengan menggunakan kereta api. Calon penumpang dari Purwokerto misalnya, kini bisa tiba di Jakarta dalam waktu 5 jam dengan kereta api eksekutif. Jika ia memakai jasa pesawat terbang dari Cilacap, waktu tempuhnya sejak berangkat dari rumah hingga sampai ke kota Jakarta dapat mencapai 3 hingga 4 jam lamanya. Perinciannya adalah perjalanan darat dari Purwokerto ke Tunggul Wulung memakan waktu 1 jam dan waktu tunggu hingga terbangnya dapat lebih dari 2 jam.

Kalau penumpang dari Purwokerto saja memerlukan 3 jam lebih untuk terbang dengan pesawat ke Jakarta, lalu bagaimana dengan mereka yang berangkat dari Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, dan Wonosobo? Maka menjadi masuk akal jika pertumbuhan penumpang di Tunggul Wulung relatif kurang bagus dari tahun ke tahun. Calon penumpang yang berangkat dari luar Cilacap mungkin kurang berminat karena keuntungan dari sisi waktu tempuh tidak begitu signifikan.

Lalu bagaimana dengan Wirasaba?

Pihak-pihak yang bersemangat menjadikan Wirasaba sebagai bandar udara umum adalah Pemprov Jateng dan 5 pemerintah kabupaten yang terdiri dari Purbalingga, Banyumas, Banjarnegara, Kebumen, dan Wonosobo. Mudah ditebak alasan mengapa 5 pemkab tersebut menjadi ngotot, yakni karena faktor geografis lokasi bandara. Kabupaten pendukung yang jaraknya terjauh adalah Wonosobo, sekitar 60 km, dan jarak itu masih lebih dekat ketimbang harus ke Yogyakarta ataupun Semarang. Sementara empat sisanya berjarak kurang dari 30 km. Ini butir keunggulan pertama.

Terkait dengan aspek kemudahan akses, Wirasaba jelas menjadi pemenangnya. Jalan utama dan alternatif yang menghubungkan dari dan ke 5 kabupaten tersebut di atas telah tersedia. Para calon penumpang pun bisa memilih alat transportasi pribadi dan umum. Bahkan tahun depan Bus TransBanyumas direncanakan akan mulai beroperasi dengan rute berpangkal di Terminal Bukateja (berjarak 3 km dari Lanud Wirasaba) menuju ke Stasiun Purwokerto dengan melalui pusat-pusat keramaian. Dan puncaknya adalah pada tahun 2019 ketika reaktivasi jalur kereta api antara Purwokerto – Wonosobo, yang trase lamanya berada tepat di samping landas pacu, selesai dilaksanakan. Wirasaba semakin mudah dalam jangkauan masyarakat Purwokerto, Banjarnegara, dan Wonosobo. Ini yang kedua.

Berbicara tentang potensi keuntungan, barangkali inilah butir keunggulan ketiga dan utama yang dimiliki Wirasaba jika dibandingkan dengan Tunggul Wulung. Pangsa pasar maskapai penerbangan yang beroperasi di Wirasaba diyakini lebih luas dan lebih besar. Ada sekian ribu unit bisnis di 5 kabupaten di sekelilingnya; sekian ribu usahawan yang butuh mobilitas cepat; sekian ribu wisatawan asing maupun domestik; sekian ribu birokrat yang harus berdinas di Semarang, Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan Surabaya; serta sekian ribu masyarakat umum selain pebisnis yang juga memerlukan transportasi super cepat.

Jadi, memilih Wirasaba sebagai bandar udara komersial baru menggantikan Tunggul Wulung adalah keputusan yang cukup tepat dengan alasan yang juga cukup kuat. Wirasaba dan Tunggul Wulung jelas telah dan akan memberikan dampak berganda bagi kawasan di sekitarnya, namun besaran efeknya pasti berbeda. Wirasaba berada di tengah-tengah 5 kabupaten yang sedang bertumbuh cukup kencang sementara Tunggul Wulung tidak sestrategis itu. Perlu kerendahhatian dan kebesaran hati bagi seluruh pihak yang terkait dengan keputusan sulit ini. Legowo, dan amanah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun