Warung angkringan Lek Bimin sahabat saya, sejatinya sama sekali tidak memiliki keunggulan. Menu yang disajikan malah terhitung ’miskin’ kreasi apabila dibandingkan dengan kedai sejenis. Jenis makanan yang tiap hari saya lihat adalah nasi kucing (berlauk ayam goreng, kikil, ikan teri, kering tempe, oseng-oseng kacang panjang, dan nasi goreng), tahu bacem, saren (darah ayam/sapi yang digoreng – not recommended), kepala ayam, sate usus, sate telur puyuh, gorengan (pisang, tape rondo royal, ubi, badak alias bakwan, mendoan, dan tahu isi). Sedangkan minumannya adalah teh, jeruk, jahe, susu, kopi – baik murni maupun kombinasi. Tapi beberapa minggu belakangan Lek Bimin menghadirkan dua komoditi baru: kerupuk kulit ikan dan minuman instan jenis kopi campur.
Lah, terus apa istimewanya, dong?
Begini, sebagai seorang pelanggan setia, saya menilai keunggulan dari angkringan pria asal Gunung Kidul ini adalah pendekatan personal yang dilakukan oleh beliau kepada para pelanggannya. Menyadari bahwa lokasi usahanya bukan berada di tengah-tengah keramaian, maka demi menjaga stabilitas volume penjualan, Lek Bimin harus membuat para pelanggannya menjadi sekelompok pembeli setia. Apalagi para pelanggan warungnya terdiri dari berbagai macam latar belakang: dari OB yang tidak tamat SD sampai dengan bintang iklan produk kecantikan nan rupawan. Dari pria kekar bertato sampai dengan ABG dari komplek gedongan.
Dari mengamati strategi bisnis Lek Bimin, saya kok tiba-tiba teringat pada sebuah buku yang mengupas filosofi usaha – atau apapun sebutannya – dari sebuah kedai kopi kelas dunia. Konon kabarnya kesuksesan dari warung kopi internasional tersebut berawal dari pengamalan falsafah tersebut oleh jajaran manajemen dan karyawannya. Berdasarkan ingatan saya yang terbatas ini, dengan ini saya bagikan kepada Kompasianer sekalian jurus-jurus sakti dimaksud:
Pertama, sikap RAMAH. Layaknya perilaku para pegawai restoran yang bertarif mahal, saya perhatikan Lek Bimin juga selalu menyapa para pelanggannya dengan keramahan khas orang timur. Sikap yang ramah biasanya akan mendapat respon yang positif dan berujung pada output yang menguntungkan.
Kedua, sikap TULUS. Menurut saya, ketulusan seseorang sesungguhnya tidak terlalu sulit untuk dinilai. Maka apabila kita bersikap tulus, saya sangat meyakini bahwa lingkungan kita akan memberikan ’penghargaan’ yang kadarnya sama atau bahkan lebih. Lek Bimin saya lihat sendiri hampir tiap malam bersedia untuk mengantarkan minuman dan makanan pesanan seorang pelanggan yang jarak rumahnya cukup jauh.
Ketiga, BERWAWASAN. Bukan bermaksud narsis, tapi tiap kali berkunjung, saya selalu mendorong ataupun memancing pengunjung lainnya untuk berdiskusi kecil-kecilan yang topiknya adalah peristiwa terkini. Dengan begitu, saya berharap angkringan sahabat saya ini dapat berfungsi sebagai ”agen pembangunan” yang berandil dalam ”mencerahkan dan mencerdaskan” bangsa (lebay.com :p).
Keempat, PERHATIAN. Ketika saya curhat tentang sakitnya bapak saya, Lek Bimin dan para pelanggan tetapnya secara rutin menanyakan perkembangan kesehatan beliau. Saya sungguh merasa terkesan dengan keakraban dan kehangatan dari kedai rakyat yang menggunakan tungku berbahan bakar arang ini, baik dalam kiasan maupun dalam arti sebenarnya.
Kelima, sikap PEDULI. Saya pernah menyarankan kepada Lek Bimin agar mau memberi makanan dan minuman gratis kepada pengunjung kedainya yang betul-betul tidak punya uang atau mulai kehabisan uang. Saya sungguh gembira karena sahabat saya ini bersedia untuk menuruti saran aneh tersebut, lebih-lebih karena dalam beberapa kesempatan saya diperbolehkan untuk ngutang dulu kepada beliau.
Demikian sharing saya kali ini, semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H