[caption id="attachment_217745" align="aligncenter" width="580" caption="(sumber: hamidanwar.blogspot.com)"][/caption]
Sebagai orang yang lahir dan besar di wilayah Banyumas Raya, jujur saja, ada semacam rasa bangga yang perlahan menyeruak dalam dada setiap kali usai membaca atau mendengar pujian maupun komentar positif dari mereka yang beruntung telah menonton film Sang Penari lebih dulu. Apalagi saat melihat tayangan iklannya di televisi, tak sabar rasanya menantikan film tersebut diputar secara massal pada 10 November 2011. Namun di balik rasa kagum itu, ternyata terselip satu keprihatinan dalam diri saya yang nantinya akan saya ceritakan dengan ikhlas kepada Anda semua.
Setidaknya ada dua hal dari Sang Penari yang menjadikan alasan bagi saya untuk merasa bangga.
Pertama, saya membanggakan sang penulis novel yang mana buah karyanya telah dijadikan inspirasi dalam pembuatan film ini. Saya tidak segan-segan untuk mengatakan bahwa Kang Ahmad Tohari adalah pahlawan saya, karena beliau telah menulis sebuah rangkaian kisah percintaan berlatar belakang kehidupan dan kebudayaan masyarakat Banyumas dengan cara bertutur yang apik dan “membumi”.
Salah satu bagian dalam sebuah novel beliau -- saya lupa judulnya -- yang menceritakan ikhtiar dua orang anak kecil menangkap seekor serangga gasir dengan “kreatif” untuk kemudian dibakar dan dimakan, adalah salah satu contoh kepiawaian Kang Ahmad Tohari dalam menceritakan fakta sesungguhnya dari “pekerjaan” bocah-bocah pedesaan Banyumas tempo doeloe saat menjalani keseharian mereka. Tatkala membaca bagian cerita tersebut, saya langsung membatin: that-was-so-me! Dan saya meyakini akan banyak orang Indonesia yang membanggakan penulis yang mampu membuat cerita yang dekat dengan realita kehidupan sosial masyarakat sehari-hari, bukan cerita yang menjual mimpi berbingkai hedonisme belaka.
Kemudian yang kedua adalah, hati saya berbunga-bunga karena kabarnya Sang Penari banyak menggunakan dialog dalam bahasa asli yaitu Jawa Banyumasan. Terus terang, saya adalah orang Banyumas yang sangat jarang menggunakan bahasa Jawa Banyumasan ketika berkomunikasi dengan orang lain. Alasannya bukan karena malu tapi lebih karena kebanyakan lawan bicara saya yang kurang mampu memahami arti dan maksud pembicaraan. Sebagai orang Banyumas tapi jarang berbicara ngapak-ngapak, kenyataan tersebut adalah sesuatu yang sangat menyedihkan untuk saya.
Maka dengan digunakannya Jawa Banyumasan dalam banyak dialog, saya sungguh berharap film ini akan menolong bahasa Jawa Banyumasan untuk makin menasional atau bahkan mengglobal. Dan melalui forum ini, saya menantang kepada siapapun yang mempunyai sumber daya yang memadai untuk berani membuat film atau sinetron full berbahasa Banyumas karena saya meyakini “keunikannya” akan membuat publik tertarik.
Terakhir, saya telah berjanji pada awal tulisan untuk berbagi keluh kesah saya kepada Anda. Bagi Anda yang pernah berkunjung ke Kota Purwokerto dan menyempatkan untuk menonton di satu-satunya bioskop yang ada di sana, pasti telah mengetahui sebab-musabab keprihatinan saya. Ya, yang menjadi beban dalam pikiran saya beberapa waktu belakangan ini adalah buruknya kualitas gambar dan tata suara yang dihasilkan dari alat pemutar film dan sound system pada empat layar bioskop tersebut.
Bayangkanlah sebagai seorang yang berdomisili di Banyumas Raya, maka Anda pasti sepakat bahwa menonton film bagus “milik sendiri” tapi di sebuah bioskop berkualitas alakadarnya tentu saja akan mengesalkan dan cukup membuat frustrasi. Maka, sekali lagi, saya menantang Anda yang memiliki sumber daya yang memadai untuk juga berani berinvestasi memperbagus bioskop satu-satunya itu.
Jajal rika wani apa ora?