Mohon tunggu...
Kancilana M. Jokerias
Kancilana M. Jokerias Mohon Tunggu... -

Pembelajar Masalah Sosial dan Politik lebih concern dengan Intervensi Politik Asing

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Reklamasi dan Misi Distribusi Kesejahteraan

9 Juni 2016   11:31 Diperbarui: 21 Juni 2016   06:12 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semakin mendekati Pilkada DKI 2017, isu reklamasi kian kencang ditiupkan. Bahkan dalam demonstrasi buruh, reklamasi menjadi konten orasi. Tak heran bila kemudian banyak yang percaya bahwa reklamasi dipolitisasi.

Tak kurang, organisasi profesi seperti Kamar Dagang dan Industri (KADIN) ikut angkat bicara. Ketua Komite Tetap Hubungan dengan Lembaga Swasta (KTHLS) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Ikang Fawzi mengatakan persoalan reklamasi yang dipolitisasi dengan melihat sisi negatifnya saja. Padahal, di balik agenda reklamasi pasti ada juga sisi positifnya.

Ia menyarankan, permasalahan dalam pelaksanaan reklamasi seharusnnya diselesaikan secara profesional dan sesuai porsinya. Jangan dipolitisasi sehingga masalahnya menjadi berlarut-larut dan melebar kemana-mana. Pembicaraan soal reklamasi, kita lihat akhirnya memang malah keluar dari konteks. Sarat dengan kepentingan politik, yaitu saling jegal.

Menanggapi politisasi reklamasi, di media sosial ramai beredar catatan yang dikatakan tulisan milik Betti Alisjahbana,  Ketua Majelis Wali Amanat ITB dan Mantan Country General Manager IBM Indonesia. Sampai saat ini, belum ada komentar klarifikasi dari Betti terkait kebenaran tulisan yang telanjur viral tersebut. Berikut kutipan tulisan dari WhatsApp group GAK IA ITB :

Di media mainstream dan social media bermunculan "guru-guru" (dadakan) yang menerangkan mengapa begini, mengapa begitu, sedemikian sehingga orang yang kurang paham seperti saya jadi belajar juga.

Reklamasi itu gampan 

Saya menangkap publik pada umumnya mengacaukan dua soal yang berbeda: soal “reklamasi” dan soal “zonasi”.

Ini dua hal yang sama sekali berbeda.

Soal reklamasi, itu amanat regulasi sejak tahun 1995 yang harus dijalankan oleh siapapun Gubernur DKI yang menjabat, berdasarkan Keppres 52/1995 yang sampai tulisan ini dibuat belum ada gugatan yang membatalkannya. Sedangkan soal zonasi itu adalah soal peruntukan mau dibuat apa saja nantinya di atas 17 pulau buatan seluas 5100 ha hasil dari reklamasi tersebut.

Ya, 5100 ha mau diapakan ? Kita bisa bayangkan zonasi apa saja yang ada di perumahan Pondok Indah seluas hanya 700 ha itu.

Atau juga di Bintaro Jaya yang seluas kira-kira 1000 ha. BSD City barangkali agak sebanding, lebih besar memang, yaitu seluas sekitar 6000 ha.

Coba pikirkan, bagi pengusaha properti, lahan 5100 ha di 17 pulau buatan di lokasi primer, itu termasuk nikmat Allah yang akan disyukuri dalam jangka panjang. Tidak heran penciuman KPK sudah sampai ke lingkaran yang selama ini dianggap the untouchable: Aguan Sugianto.

Tetapi yang perlu digaris-bawahi apakah proyek reklamasi ini melulu soal komersial ?

Mari simak penjelasan berikut dengan saksama,

Reklamasi itu bagian dari visi besar masa depan Jakarta menghadapi banjir (bagian dari konstruksi giant sea wall), menyediakan air bersih (water treatment di dalam tanggul giant sea wall itu), dan tentu saja mendorong pertumbuhan ekonomi di atas wilayah baru (terutama penerimaan pajak).

Jadi dimana yang diributkan dalam soal zonasi ini ?

Begini, regulasi sudah atur 45% lahan itu jalur hijau (ini jelas teritori Pemprov DKI Jakarta), maka yang boleh dikembangkan adalah yang 55%.

Dari yang 55% itu, regulasi mengatur bahwa Pemprov DKI memperoleh hak setara 5% dari luas areal netto yang direklamasi. Ini disebut kontribusi dalam bentuk lahan.

Banyak orang salah kaprah kontribusi dalam bentuk lahan ini naik dari 5% menjadi 15%. Kontribusi lahan tidak berubah, tetap 5%.

Yang direvisi dalam Raperda Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir Pantai Utara dan Perda nomor 8 tahun 1995 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Pantura Jakarta adalah, adanya kontribusi tambahan sebesar 15% dari nilai NJOP lahan, tetapi bukan dalam bentuk uang, melainkan in natura, seperti bangunan fisik.

Untuk apa kontribusi tambahan ini? Ya untuk biaya membangun di atas jatah lahan Pemprov DKI yang 5% tadi.

Sekali lagi, bukan kontribusi lahan dinaikan dari 5% menjadi 15%, melainkan, selain kontribusi lahan yang 5%, ada lagi kontribusi tambahan senilai 15% dari NJOP yang diwujudkan dalam bentuk development yang dinginkan oleh Pemprov DKI.

Dan perlu diperjelas juga, dua kewajiban pengembang ini di luar kewajiban fasos/fasum.

Dalam klausul izin reklamasi kepada PT Muara Wisesa Samudra (SK Gubernur No 2238 Tahun 2014), misalnya, tertulis : “memberikan kontribusi lahan seluas 5% dari total luas lahan areal reklamasi nett yang tidak termasuk peruntukan fasos/ fasum untuk diserahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.”

Maka jelaslah ini agenda distribusi keadilan sosial dari swasta yang punya duit kepada masyarakat luas.

Dari situlah swasta membangun untuk kepentingan orang-orang kecil, seperti yang sudah dia buktikan melalui infratruktur dan berbagai fasilitas sosial bagi mereka yang tergusur di Waduk Pluit, Kampung Pulo atau Kali Jodo, misalnya.

 Pemerintah tidak mau para buruh di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di sekitar Marunda nantinya, atau para nelayan, harus tinggal jauh di pinggiran Jakarta padahal bekerja sehari-hari di situ.

“Kawasan tersebut kan bukan cuma ditempati oleh masyarakat kalangan atas, tetapi kalangan menengah ke bawah yang mencari nafkah di pulau reklamasi,” demikian yang pernah diucapkan oleh pemerintah mengenai hal tersebut.

Estimasi yang dibuat Agung Podomoro Land, misal lain lagi, harga tanah per meter hasil reklamasi akan berkisar Rp. 22 juta sampai Rp. 32 juta. Kalangan masyarakat mana yang mampu beli ?

Maka pemerintah lah yang harus mewujudkan "option for the poor" (pilihan demi masyarakat kelas bawah) agar mereka bisa tinggal di situ melalui mekanisme teregulasi.

Jadi sebetulnya, yang banyak belum dipahami dalam reklamasi ini adalah bagaimana agenda pembangunan tersebut by mission untuk orang atau kelompok tidak mampu. Developer swasta semacam Agung Podomoro Land membantu masyarakat mencapai taraf hidup lebih baik, mewujudkan kesejahteraan dengan cara distribusi sosial tadi dengan mengacu pada regulasi yang ada. Sementara provokasi yang berkembang, reklamasi menjadi tembok antara richman dan poorman. Ini tidak benar dan perlu diluruskan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun