Mohon tunggu...
Fairizal Rahman
Fairizal Rahman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Fairizal Rahman

Lecturer of Communication Study at State Islamic University of Kediri.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Memanjakan, Tak Memajukan Anak

3 Februari 2019   11:29 Diperbarui: 3 Februari 2019   12:41 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Banyak contoh contoh hidup yang sesungguhnya dapat dijadikan pelajaran. Baik dari kehidupan teman, sahabat, tetangga, guru, rekan kerja, dan lainnya. 

Tapi sayangnya, kebanyakan orang tidak menganggap pengalaman-pengalaman mereka adalah hal yang perlu untuk dijadikan pelajaran hidup. Salah satunya adalah niat hati para orang tua mau memanjakan anak, tapi berakibat justru menjerumuskannya, menjadi sosok yang tidak mandiri.

Bayangkan, anak sudah duduk dibangku sekolah SD mau pakai sepatu harus tunggu pembantu atau orang tua yang memasangkan. Padahal pelajaran memasang sepatu dan memasang tali sepatu seharusnya sudah anak dapatkan ketika belajar di tingkat PAUD atau TK. 

Herannya, kebanyakan orang tua menganggap hal ini adalah hal yang wajar-wajar saja. Mungkin karena mereka menganggap anak masih kecil dan sudah selayaknya dimanja.. 

Manja Ketika Usia Kanak Kanak, Menderita Ketika Dewasa

Pada dasarnya, memanjakan anak tidak ada hubungannya dengan kekayaan orang tua. Banyak orang tua yang secara materi berkecukupan secara materi, namun mereka enggan untuk membiasakan anak-anak mereka berperilaku manja. Sebaliknya, ada juga orang tua dari kalangan keluarga biasa-biasa saja justru dengan bangga jika membiasakan anak-anak mereka dengan sifat manja.

Tidak memanjakan anak bukan berarti membiarkan mereka sepenuhnya sendirian dalam melakukan hal-hal dalam hidup mereka. Tidak memanjakan dalam artian bahwa anak-anak diajarkan dasar-dasar dalam melakukan sesuatu, dan selanjutnya biarkan mereka untuk mencoba melakukannya sendiri. 

Jika dalam mencobanya mereka menemukan kesulitan, baru orang tua membatu untuk mencarikan solusinya. Berbeda dengan memanjakan anak. Memanjakan bisa berarti bahwa anak tidak diajarkan samasekali dasar-dasar dalam melakukan sesuatu. 

Segala hal yang anak butuhkan dalam hidupnya, dipenuhi dan dikerjakan sepenuhnya oleh orang tua. Anak mau ini, orang tua atau pembantu yang mengerjakan, anak mau itu juga orang tua atau pembantu yang mengerjakan.

Saya jadi teringat saat saya masih remaja seusia anak SMA, waktu itu saya sudah berusia cukup untuk membuat SIM (Surat Izin Mengemudi). Sabtu pagi, ayah mengajak saya keluar dan meminta saya mengenakan pakaian rapi berkerah. 

Saya tidak tahu kami akan kemana, hingga sampailah pada satu kantor yang dari tulisan di depan gedung kantornya saya baru tahu kalau itu kantor untuk membuat SIM. 

Ayah membiarkan saya melalui setiap prosesnya, mulai dari fotocopy berkas, menyerahkan ke bagian administrasi, sidik jari, tes tulis, bahkan ayah saya membiarkan saya melalui tahapan tes yang bagi saya cukup sulit yaitu tes praktik mengendarai motor. 

Tidak seperti mengendarai di jalan raya, tesnya cukup sulit yaitu dengan medan berbentuk zigzag, medan berbentuk seperti angka delapan, dan ada lagi saya sudah lupa. Walaupun sulit, ayah saya tetap membiarkan saya melewatinya, tak peduli saya gagal ataupun berhasil, yang terpenting adalah saya melakukannya dan melewatinya. 

Dah hasilnya, saya dinyatakan gagal tes praktik, dan harus kembali sekitar seminggu lagi. Seminggu kemudian, entah bagaimana caranya, kartu SIM saya jadi. Apakah ayah saya tidak bisa meminta keringanan atau dispensasi kepada petugas pada awal pendaftaran agar saya tak perlu ikut tes praktik? Saya yakin bisa. 

Tapi ayah saya tak mau itu, memperoleh SIM memang menjadi tujuan utama, tapi di balik itu, ada nilai-nilai yang ingin ditanamkan oleh ayah saya dalam hidup saya. Dari itu, saya jadi tahu apa saja persyaratan untuk pembuatan SIM, prosesnya kemana, ujian tulis seperti apa, ujian praktik seperti apa. 

Sehingga, jika suatu saat saya akan membuat SIM atau mungkin dibutuhkan menemani teman untuk membuat SIM, saya tahu bagimana prosesnya. Andai saat itu ayah memanjakan saya, ayah yang urus semua, saya tinggal tandatangan dan duduk untuk difoto, mungkin hingga saat ini saya tidak paham bagaimana prosedur pembuatan SIM. 

Itulah yang disebut kemandirian, tidak memanjakan anak. Mengajari dasar-dasar perilaku, dan kemudian membiarkan sang anak melakukannya sendiri sampai batas kemampuannya.

Tidak memanjakan anak berarti mengajari mereka hal-hal penting dalam hidupnya. Agar suatu saat, ketika anak-anak sudah dewasa dan menghadapi sesuatu yang harus dihadapi sendiri, anak tak lagi bergantung pada orang tua dan orang lain sepenuhnya. Anak-anak sudah tumbuh menjadi pribadi yang paham bagaimana menyelesaikan karena pelajaran dasar kemandirian sudah ia dapatkan ketika masih anak-anak.

Gamang Menghadapi Kehidupan

Ketika bertumbuh menjadi dewasa, baru tampak perbedaan sikap mental yang mencolok, antara anak anak yang dulunya hidup serba manis dan dimanja dengan anak anak yang sejak kecil sudah harus belajar mandiri. 

Sejak kecil sudah terbiasa mandi sendiri, gosok gigi sendiri, makan dengan tangan sendiri, ke sekolah tak harus diantarkan orang tua tiap hari, diajari cara mengerjakan pekerjaan rumah, mengerjakan tugas sekolah, dan lainnya. Mereka ini sudah terlatih sejak kecil, hidup mandiri dan tahan menderita. Sehingga menghadapi masalah masalah hidup, mereka tidak merasa gentar.

Sebaliknya, anak anak yang dulunya hidupnya dimanja, tiba tiba merasa gamang, karena harus menghadapi kehidupan yang keras. Baru memahami, bahwa tidak dalam semua hal, uang dan kenyamanan yang diberikan orang tua selama ini dapat menyelesaikan segala-galanya. 

Mereka yang terbiasa dimanja cenderung akan mengalami tekanan psikis lebih berat ketika menghadapi masalah, cenderung menyendiri, tertutup, dan mencoba menyelesaikan masalah dalam hidupnya ke dalam hal-hal yang justru bisa merukak hidupnya: narkoba, miras, dan sex bebas!

Jangan Menjerumuskan Anak Anak

Memanjakan anak anak, tentu saja merupakan impian setiap orang tua, dengan gaya dan caranya masing masing. Akan tetapi, segala sesuatu yang bersifat berlebihan ,selalu akan ada dampak negatifnya. Maksud baik, harus disertai dengan pertimbangan akal budi. 

Bahwa memanjakan anak-anak secara berlebihan, akan menjerumuskan mereka menjadi manusia yang gamang menghadapi hidup. Tidak berani keluar dari zona aman dan kenyamanan. 

Gampang diperas orang, karena sifat penakut yang diciptakan sejak kecil. Hal-hal kecil, dapat menyebabkan dirinya menjadi kehilangan kendali diri. Akibat dimanja berlebihan, ketika dewasa, anak-anak terjerumus menjadi orang yang gampang frustuasi.

Hendaknya sebagai orang tua atau calon orang tua, kita mau belajar dari penyebab kegagalan orang dalam menghadapi kerasnya kehidupan dan jangan lagi menjerumuskan anak-anak kita dengan memanjakan mereka secara berlebihan. Ajari anak-anak kita dengan sifat kemandirian.

(Tulisan ini, saya dedikasikan untuk Ayah saya, yang telah mengajari anaknya kemandirian dalam hidup. Meski, hingga saat ini, saya tetaplah bocah seperti 17 tahun silam, masih kekanak-kanakan...hehe...)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun