Pilkada serentak yang kerap kali menjadi sorotan kini kembali mendapat kritik tajam dari berbagai kalangan. Pengeluaran negara yang mencapai triliunan rupiah untuk penyelenggaraannya serta biaya pribadi para calon yang mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah menjadi salah satu persoalan utama. Kritik ini datang dari Dr. Djonggi M. Simorangkir, SH, MH, seorang pakar hukum terkemuka, yang menilai bahwa Pilkada tidak hanya membebani negara, tetapi juga rakyat secara psikologis.
"Pelaksanaan Pilkada sering kali menjadi beban besar bagi keuangan negara. Selain itu, rakyat juga tersedot waktunya untuk memikirkan Pilkada yang hasilnya belum tentu melahirkan pemimpin daerah yang berkualitas tinggi, ahli pemerintahan, dan memahami hukum maupun peraturan dengan baik," ujar Dr. Djonggi.
Ia juga menyoroti bahwa proses Pilkada saat ini sering diibaratkan seperti membeli kucing dalam karung. Para calon kepala daerah yang dipilih belum tentu memiliki kemampuan dan integritas tinggi untuk menjalankan roda pemerintahan secara profesional dan bersih.
"Kita harus jujur mengakui bahwa Pilkada sering kali menjadi sumber korupsi. Banyak calon kepala daerah yang terpilih karena popularitas atau kekuatan finansial, bukan karena kompetensi dan dedikasinya untuk melayani rakyat," tegasnya.
Sebagai solusi, Dr. Djonggi mengusulkan agar Pilkada ditiadakan dan peran pemimpin daerah diberikan kepada alumni Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) yang dipersiapkan secara matang. Ia mendorong agar Presiden Prabowo Subianto dan DPR RI segera mengamandemen undang-undang yang relevan untuk mewujudkan gagasan ini.
"IPDN harus menjadi sekolah favorit seperti STAN, Akademi Militer, Akademi Angkatan Laut, Akademi Angkatan Udara, dan Akpol. Hanya orang-orang pintar dan berkualitas tinggi yang layak menjadi alumni IPDN, sehingga mereka bisa menjadi pejabat yang benar-benar bermanfaat bagi bangsa dan negara tanpa korupsi," tambah Dr. Djonggi.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa alumni IPDN tidak hanya harus memiliki pendidikan di bidang ilmu pemerintahan, tetapi juga wajib menapaki karir secara berjenjang sesuai pengalaman dan kompetensinya.
"Setelah lulus dari IPDN, mereka harus memulai dari jabatan dasar, seperti menjadi lurah, camat, bupati atau wali kota, hingga gubernur, sebelum akhirnya menduduki posisi Menteri Dalam Negeri. Dengan sistem ini, mereka akan memahami setiap aspek pemerintahan secara mendalam dan bertahap," jelas Dr. Djonggi.
Menurutnya, pola karir berjenjang ini sangat penting untuk memastikan bahwa pejabat pemerintah memiliki pengalaman nyata di setiap level pemerintahan. Hal ini juga dapat mengurangi risiko munculnya pemimpin yang tidak memahami sistem pemerintahan secara holistik.
"Sudah saatnya kita memiliki sistem yang memastikan bahwa pejabat publik adalah orang-orang yang memiliki kemampuan, wawasan hukum, dan integritas moral yang tinggi. Ini adalah tugas bersama Presiden dan DPR untuk membawa perubahan yang mendasar demi masa depan Indonesia yang lebih baik," pungkasnya.
Reformasi ini diharapkan dapat menciptakan pejabat yang lebih kompeten, mempercepat pembangunan daerah, dan memberantas korupsi di pemerintahan daerah. Sistem karir berjenjang ini dinilai sebagai solusi strategis untuk membangun pemerintahan yang lebih profesional dan akuntabel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H