Mohon tunggu...
Ungky
Ungky Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Seorang wartawan adalah seseorang yang bertugas untuk mengumpulkan, menyunting, dan menyampaikan informasi kepada masyarakat melalui berbagai media seperti surat kabar, majalah, radio, televisi, dan platform online.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Setengah Abad Tempo: Dari Pesimisme Hingga Sejarah

23 Juli 2024   12:28 Diperbarui: 23 Juli 2024   12:31 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Goenawan Mohammad, saat diwawancarai ROSI. Dokumen Kompas TV.

Pada suatu siang, lima puluh tahun lalu di gedung tua di Senen Raya 83, kami sedang menyiapkan nomor pertama Majalah Tempo. Saat itu, terdengar seseorang bergumam: "Majalah ini hanya akan berumur tiga bulan." 

Saya terkejut. Yang berbicara adalah B, salah seorang anggota tim administrasi majalah. Namun, saya berpura-pura tidak mendengar. 

"Jangan-jangan dia betul," cerita saya kepada T, seorang teman.

"Tenang saja," jawab T. "Mungkin tiga bulan lagi Tempo bubar, tapi kalian sudah membuat sejarah."

"Jangan-jangan kau betul," kata saya, merasa sedikit terhibur.

Setengah abad kemudian, B terbukti salah dan T benar. Tempo telah membuat sejarah dengan kemunculannya yang unik dan penuh keberanian. 

Tempo dan Perubahan Corak Majalah

Tempo lahir dan mengubah corak majalah di Indonesia. Sebelumnya, majalah mingguan adalah seperti toko serba-ada. Star Weekly, misalnya, memuat uraian filsafat sejarah Arnold Toynbee, cerita bergambar pendekar Sie Djin Kui, hingga resep ketupat-tahu. Panyebar Semangat, yang terbit di Surabaya dalam bahasa Jawa, juga memuat laporan daerah, komik lucu, dan cerita detektif.

Tempo berbeda. Isinya hanya berita, tanpa rubrik dapur, teka-teki silang, atau cerpen. Rubrik "Agama" menampilkan berita tentang malapetaka di musim haji, dan "Kesehatan" melaporkan wabah cacar yang berhenti.

Saat mulai bekerja, kami tidak tahu apakah pembaca akan tertarik dengan cara baru ini. Tempo diluncurkan tanpa survei, melompat dalam kegelapan. Mungkin inilah yang dimaksud T sebagai "membuat sejarah". Tempo adalah sebuah inovasi, eksentrik dalam caranya sendiri.

Inspirasi dari Majalah Time

Tempo tidak lahir begitu saja. Pada tahun 1933, Henry Luce menciptakan majalah Time di Amerika. Time menjadi model bagi majalah lain seperti Newsweek, L'Express, dan Der Spiegel. Time memperkenalkan berita sebagai cerita dan membuat informasi sebagai stimulus. Saya tertarik pada "filsafat" ini: pembaca diajak bertualang dalam kejadian, bukan sekadar disajikan data.

Perjalanan ini terjadi dalam dan melalui bahasa. Bahasa bukan hanya mengisahkan dunia, tetapi juga membentuknya. Bahasa sering terkait dengan kekuasaan. Sejak akhir 1950-an, bahasa Indonesia berubah, menjadi bahasa politik yang didominasi doktrin. Ia tidak lagi hidup dari percakapan leluasa, sulit menjadi bahasa kontemplatif atau humoris.

Tempo dan Bahasa yang Melawan Pembekuan

Saat "demokrasi terpimpin" digantikan dengan kekerasan oleh "Orde Baru", sifat "terpimpin" dilanjutkan dengan lebih brutal. Slogan dan akronim tetap ada, membuat bahasa menjadi otoriter dan birokratik. Tempo memilih bahasa yang melawan pembekuan ini, memproduksi berita-sebagai-cerita.

Berita di koran harian dan buletin adalah berita lugas. Namun, di Tempo, fakta tetap dihormati tetapi disusun tanpa formula tetap. Pendapat klise disingkirkan, kata klise dibuang. Bahasa dikembangkan variasinya. Kata "santai" digunakan selain "rileks", "dangdut" diperkenalkan oleh Putu Wijaya, dan cas-cis-cus menggambarkan pemakaian bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari.

Jurnalisme Tempo: Menarik dan Unik

Dalam berita-sebagai-cerita, kebosanan adalah dosa penulis. Setiap cerita harus memikat, seperti dongeng 1001 malam. Isi cerita harus unik dan penting. Tempo menyusun kriteria untuk ini. Pembuka cerita harus memancing, dan penutupnya tidak berpetuah. Kisah harus mengandung suspens dan konflik, seperti novel yang baik.

Jurnalisme Tempo membutuhkan keterampilan menulis, sikap kreatif, terbuka, merdeka, kritis, dan rasa humor. Salah satu semboyan Tempo adalah "Jujur, Jelas, Jernih --- Jenaka pun bisa". Kejujuran, kejelasan, dan kejernihan penting, tetapi orang sering lupa akan "jenaka". Jenaka bisa melucuti fanatisme, mengendurkan permusuhan, dan menjangkau hati orang lain. 

Dalam berita-sebagai-cerita, pembaca diajak masuk dalam proses narasi. Tokoh cerita diperkenalkan secara konkret, menggambarkan sosok manusia yang bukan sekedar kasus atau penyampai pendapat, tetapi memiliki sejarah dan perasaan.

Jurnalisme Tempo mungkin disebut "jurnalisme sastra" atau "jurnalisme interpretatif". Namun, yang penting adalah menampilkan manusia dan peristiwa dalam konteks dan proses, membuka kemungkinan untuk versi berbeda dari apa yang diketahui. Jurnalisme ini adalah jurnalisme dengan empati.

Setengah abad lalu, Tempo memulai perjalanan ini dan tak bisa dihentikan.

Goenawan Mohamad

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun