Di sisi lain, ruang media sosial tanpa pengaturan yang jelas banyak digunakan sebagai media bebas berpendapat tanpa bertanggung jawab. Ujaran kebencian, caci maki, penghinaan hingga kepada serangan SARA sering menimbulkan ketegangan. Kecepatan teknologi informasi tanpa tabayun, kerap menjadi saluran yang membahayakan terutama menyangkut informasi layanan publik, pandangan ajaran agama atau keyakinan. Oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, celah ini dimanfaatkan untuk tujuan memancing terjadinya gejolak konflik.
Pasal yang dimaksud diantaranya:
Pasal 27 ayat (3), "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik."
Pasal 28 ayat (2): "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Menteri Komunikasi dan Informatika era Presiden Jokowi jili I, Rudiantara (5/9/2015) bersikukuh, bahwa UU ITE terutama Pasal 27 ayat (3) harus tetap dipertahankan dengan UU ITE tidak mungkin dihapus. Sebab menurutnya, pelanggar hukum harus diberi sanksi yang membuat efek jera. Selain itu menurutnya, pasal ini melindungi transaksi elektronik. Bukan dari pasalnya yang keliru, melainkan penerapannya yang memakan banyak korban.
Guna mengakomodasi keresahan dan masukan berbagai pihak, pihak Kominfo bersama DPR merevisi dan mensahkan UU ITE pada 27 Oktober 2016 yang selanjutnya Presiden Jokowi menandatangani pada 25 November 2016. Selanjutnya, agar tidak terjadi multitafsir di masyarakat dan kalangan aparat penegak hukum, Kominfo merilis 7 poin revisi tersebut: Â
1. Menghindari multitafsir ketentuan larangan mendistribusikan, mentransmisikan dan/ atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik bermuatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik pada ketentuan Pasal 27 Ayat (3), dilakukan 3 perubahan sebagai berikut: Menambahkan penjelasan atas istilah "mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik"; Menegaskan bahwa ketentuan tersebut adalah delik aduan bukan delik umum; dan Menegaskan bahwa unsur pidana pada ketentuan tersebut mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan fitnah yang diatur dalam KUHP.Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) disampaikan kepada DPR RI sebelum disahkan. UU ITE diundangkan pada 21 April 2008 dan menjadi cyber law pertama di Indonesia.
2. Menurunkan ancaman pidana pada 2 ketentuan sebagai berikut: Â Ancaman pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik diturunkan dari pidana penjara paling lama 6 tahun menjadi paling lama 4 dan/atau denda dari paling banyak Rp 1 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta; Ancaman pidana pengiriman informasi elektronik berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti dari pidana penjara paling lama 12 tahun menjadi paling lama 4 tahun dan/atau denda dari paling banyak Rp 2 miliar menjadi paling banyak Rp 750 juta.
3. Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terhadap 2 ketentuan sebagai berikut: Â Mengubah ketentuan Pasal 31 ayat (4) yang semula mengamanatkan pengaturan tata cara intersepsi atau penyadapan dalam Peraturan Pemerintah menjadi dalam Undang Undang; Menambahkan penjelasan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) mengenai keberadaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah.
4. Melakukan sinkronisasi ketentuan hukum acara pada Pasal 43 ayat (5) dan ayat (6) dengan ketentuan hukum acara pada KUHAP, sebagai berikut: Penggeledahan dan/atau penyitaan yang semula harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP; Penangkapan penahanan yang semula harus meminta penetapan Ketua Pengadilan Negeri setempat dalam waktu 124 jam, disesuaikan kembali dengan ketentuan KUHAP.
5. Memperkuat peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pada ketentuan Pasal 43 ayat (5): Kewenangan membatasi atau memutuskan akses terkait dengan tindak pidana teknologi informasi; Kewenangan meminta informasi dari Penyelenggara Sistem Elektronik terkait tindak pidana teknologi informasi.