Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Kriteria Musafir yang Boleh Membatalkan Puasa

23 April 2021   20:51 Diperbarui: 23 April 2021   21:05 1858
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musafir dalam bahasa Arab itu memiliki makna orang yang bepergian. Baik jarak yang ditempuh itu jauh ataupun dekat. Dalam Islam, ada keringanan bagi seorang musafir untuk tidak menjalankan puasa.

Namun tidak serta merta semua musafir boleh membatalkan puasanya di tengah jalan. Ada syarat tertentu yang sebelumnya harus dipenuhi juga.

  • Musafir yang dimaksud disini adalah orang yang menempuh perjalanan jauh. Jauh menurut standar beberapa ulama madzhab imam Syafi'i adalah jarak minimal 84 KM. Kalau perjalanannya kurang dari itu, masih wajib puasa.
  • Tujuan perjalanannya adalah hal yang diperbolehkan dalam agama. Misalnya mau ke rumah saudara, mudik, bekerja, dsb. Kalau tujuan dia pergi untuk hal yang termasuk maksiat, maka juga masih ada beban kewajiban untuk puasa. Misalnya kok seorang istri pergi dengan tujuan minggat tanpa pamit, atau orang yang pergi jauh dengan tujuan lari dari tanggung jawab hutangnya.
  • Bepergian sebelum terbit fajar. Sebelum waktu subuh tiba sudah harus keluar dari tapal batas desa atau daerah tempat dia menetap bermukim. Kalau bepergian sudah telanjur siang hari, sebenarnya menurut pendapat madzhab imam Syafi'i dan mayoritas ulama, dia gak boleh membatalkan puasa. Harus tetap dilanjutkan.

"Menurut pandangan madzhab imam Syafi'i dan mayoritas ulama, tidak boleh membatalkan puasa (bagi musafir) hari itu. Jika dia bepergian setelah terbit fajar dalam keadaan berpuasa. Akan tetapi kebolehan membatalkan puasa hanya diperuntukkan bagi mereka yang sudah melakukan perjalanan ketika fajar mulai terbit." (Penjelasan imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim)

  • Dari sini dapat diambil kesimpulan, kalau sebenarnya hukumnya gak boleh, bahkan haram, kalau ada orang yang misalnya mau melakukan perjalanan jauh tapi berangkatnya jam tujuh atau enam pagi, dan hari itu sejak subuh sudah tidak puasa. Yang dia pahami, "wah saya kan nanti mau pergi. Sekarang gak usah puasa aja lah."
  • Ada pendapat yang memperbolehkan untuk musafir boleh membatalkan puasa di siang hari meskipun berangkat setelah subuh. Tapi itu pendapat ulama lintas madzhab (madzhab Hambali). Pun dengan syarat bolehnya membatalkan puasa baru dilakukan setelah keluar dari tapal batas daerah tempat dia bermukim. Sebelum itu, selama masih di rumah atau di daerahnya, tetap harus puasa seperti biasa.

***

  • Dalam konteks puasa secara umum, lebih luas lagi, bukan hanya puasa Ramadhan misalnya, musafir gak boleh juga membatalkan puasa siang-siang di tengah jalan kalau puasanya adalah nadzar. Misalnya dia sudah nadzar mau puasa hari Senin tanggal 20 Syawal, ternyata tepat hari itu dia menjadi musafir. Maka dia wajib menyempurnakan puasanya sampai Maghrib.

"Kalau seorang musafir bernadzar untuk menyempurnakan puasanya, maka dia tidak boleh membatalkan puasa." (Referensi dari kitab Busyrol Karim)

  • Orang yang selalu hidup di perjalanan. Sepanjang tahun gak pulang-pulang. Mungkin nahkoda kapal kargo antar benua yang dinas sampai berbulan-bulan. Gak tahu deh kapan pulangnya. Kalau menurut imam ar-Ramli, yah sekira dia akhirnya juga sama aja gak bisa mengqodho puasa itu di hari-hari kedepannya, itu tetap berkewajiban puasa. Tapi kalau menurut imam Ibnu Hajar, masih ada keringanan.
  • Punya penyakit mematikan atau semacam itu, mungkin narapidana yang akan dieksekusi di bulan Syawal. Dan sebenarnya dia mampu puasa bulan Ramadhan ini, lalu seandainya gak puasa maka tak ada kesempatan untuk mengqodho.
  • Perginya cuma buat cari-cari keringanan saja. Jadi musafir tapi tujuannya agar bisa kuliner dan makan siang. Yah, pergi jauh ke ujung Indonesia buat cari makanan enak itu sebenarnya boleh saja. Tapi kalau niatnya cuma biar gak puasa, itu yang akhirnya bikin gak boleh.

"Tidak diperbolehkan membatalkan puasa kalau memang tidak dikuatirkan terjadi hal yang memperbolehkan tayamum, bagi orang yang tujuan perginya hanya murni cari keringanan." (Referensi dari kitab Tuhfatul Muhtaj)

  • Kalau punya nadzar puasa dahr (puasa setiap hari sepanjang tahun kecuali hari yang tidak boleh). Ya karena setiap hari akhirnya ada kewajiban puasa. Dan gak ada waktu lagi untuk qodho jika dia gak puasa saat jadi musafir.

:

Penjelasan dari imam al-Adzra'i dan imam az-Zarkasyi, tidak boleh membatalkan puasa ketika tujuannya untuk rekreasi bagi orang yang bernadzar puasa dahr. Karena tidak ada waktu baginya untuk mengqodho. Beda permasalahan jika (pergi rekreasi) bagi orang yang puasa bulan Ramadhan. (Referensi dari kitab Tuhfatul Muhtaj)

***

Wallahu a'lam.

Disarikan dari penjelasan Syaikh Dr. Labib Najib.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun