Mohon tunggu...
Muhammad Khoirul Wafa
Muhammad Khoirul Wafa Mohon Tunggu... Penulis - Santri, Penulis lepas

Santri dari Ma'had Aly Lirboyo lulus 2020 M. Berusaha menulis untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Instagram @Rogerwafaa Twitter @rogerwafaa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Obrolan Singkat Sastra Klasik

17 Desember 2020   04:27 Diperbarui: 17 Desember 2020   05:16 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
comtesse-du-chocolat.tumblr.com

Bukan bayangan tentang kisah-kisah horor Stephen King, ketika membaca cerpen Edgar Allan Poe, justru saya teringat adegan penghujung di film The Lighthouse. Walaupun saya tak akrab dengan cerita bergenre mencekam.

Saya membaca buku bukan untuk ditakut-takuti. Atau bahkan merasakan ketegangan. Pun di kehidupan nyata, saya lebih memilih duduk santai menikmati segelas susu, daripada menantang nasib bermain arung jeram.

Tapi apakah masih menyenangkan membaca kembali sastra klasik? Iya, hari ini telah lahir banyak buku-buku yang berlabel "laku keras". Sepertinya lebih menarik untuk diselesaikan, karena menyajikan selera dengan rasa zaman ini.

Tapi sastra klasik bukanlah seperti makanan basi. Tidak seperti buku-buku sekarang yang rata-rata hanya mampu naik cetak dua tiga kali. Lalu kalah bersaing tertelan gelombang kreativitas yang menggila. Sastra klasik memiliki tempat tersendiri.

Cerpen Poe masih dibaca sebagai pengingat. Bahwa dulu mungkin karyanya telah menjadi pondasi, akan lahirnya banyak bakat-bakat baru yang membutuhkan tempat bernaung sementara. Butuh gaya menulis untuk ditiru sebentar, sebelum akhirnya nyaman dengan cara berkarya mereka masing-masing.

Mungkin masih ada, anak kecil yang tertarik dibacakan kisah kapten Ahab, yang "dikutuk" hidup dengan kebencian kepada seekor paus berukuran monster. Moby Dick masih laku.

Novel Sir Arthur Conan Doyle, masih dibaca meskipun telah lahir genre spionase, yang mungkin terdengar lebih penuh lika-liku daripada sekedar petualangan seorang dokter dan detektif.

Bagaimanapun juga, kisah petualangan di negeri fantasi Middle Earth, masih memiliki ruang di rak buku. Novel The Lord of The Rings masih bisa berjejer akur dengan Harry Potter.

Pun kiranya To Kill A Mockingbird yang lekat dengan realitas diskriminasi masyarakat kulit hitam, masih relevan untuk menyindir sejarah-sejarah baru yang terus bergulir hari ini. Dalam konteks satire, atau bahkan kita masih bisa menemukan paragraf yang membuat kita lupa, kalau novel itu bahkan sudah berusia lebih dari setengah abad.

Bahkan kalimat kuda Troya itu masih diingat banyak orang. Menjadi istilah, mungkin menjadi legenda, bahkan nama yang terdengar kelam seperti virus komputer Trojan mendapatkan inspirasinya dari sana. Meskipun banyak orang kiranya telah melupakan Illiad.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun