"Banyak anak banyak rezeki", mungkin ada yang mengartikannya sebagai sebuah pepatah, mungkin ada yang memaknainya dengan nasihat, mungkin juga ada yang memahaminya sebagai sebagai sebuah penyemangat. Namun hari ini kalimat itu kiranya menjadi semacam peribahasa yang mulai dilupakan maksudnya bagi banyak orang.
Padahal Tuhan telah menjamin kehidupan tiap hamba-Nya. Pun Alquran mengecam budaya bangsa Arab pra Islam yang mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka. Sebab setiap anak membawa rezekinya masing-masing. Semakin banyak anak, akhirnya akan semakin banyak pula rezeki yang terkumpul dan lewat dalam sebuah keluarga besar.
Namun ada yang bilang, kalimat itu sudah tak berlaku lagi. Tidak relevan untuk zaman ini, dimana kebutuhan hidup kian berlipat ganda, dan orang akhirnya menganggap semakin banyak anak berarti semakin besar tanggung jawab.
Diam-diam mungkin banyak orang setuju pada pemahaman itu, mereka mengiyakannya dengan mengikuti program keluarga berencana. Mungkin ada orang yang dalam hati telanjur menganggap kalimat itu sudah jadi mitos. Banyak orang lebih percaya logika, kalau menghidupi dua anak saja kadang sampai harus hutang, bagaimana jadinya bila punya tujuh?
Iya, saya masih ingat kata ibu saya. Setiap keluarga pada zaman dahulu rata-rata adalah keluarga besar. Satu kakak dengan delapan orang adik adalah hal biasa. Dulu nenek moyang kita menikah di usia sangat muda, dan saat masih belia, kadang sudah harus menghidupi dua balita.
Tapi nenek moyang kita selalu yakin, untuk tidak pernah merasa takut atau cemas, sebab setiap anak memiliki rezekinya masing-masing. Orang tua hanya sekedar perantara untuk lewat.
Pun gaya hidup zaman dulu tidak pernah berlebihan. Para orang tua tidak menerapkan standar yang tinggi untuk anak-anak mereka. Kenyataannya, dulu kakek saya punya sawah yang luas sekali. Tersebar di banyak lokasi. Mungkin butuh seharian untuk mengunjungi semuanya.
Tapi kata orang tua saya, dulu kakek nenek sekeluarga tetap hidup sederhana. Makan pun seadanya, hanya nasi putih atau kadang nasi jagung dengan menu sayur seadanya, atau ikan asin. Pun lidah juga terbiasa kalau harus sarapan cukup dengan lauk sambal.
Menu ayam adalah makanan mewah, bila sesekali ada telur kadang sebutirnya untuk disantap bersama-sama. Baju bagus hanya satu atau dua, tidur berselimut sarung, dan benda-benda seperti batu kerikil bisa menjadi permainan yang menyenangkan.
Dan tidak ada yang menuntut. Dengan kesederhanaan itu saja sudah menjadi gambaran keluarga bahagia.
Kenyataannya, hari ini semua jauh berbeda. Gaya hidup telah membuat kebutuhan sehari-hari membengkak, meskipun hanya punya satu dua anak. Sementara zaman dulu, meskipun punya banyak keturunan, kebutuhan keluarga tidaklah banyak. Lebih tepatnya, standar hidup tidak muluk-muluk.
Hari ini, di negara yang kian sejahtera, masyarakat hadir dengan gaya hidup yang kian menuntut. Sekarang mungkin banyak anak yang menolak makan jika hanya diberi hidangan nasi putih dan sayur-sayuran. Harus lauk pauk yang sering muncul di televisi.
Dulu anak-anak cukup bahagia dengan bermain petak umpet, sekarang apakah mereka akan diam saja bila tak dibelikan gawai berharga jutaan rupiah oleh orang tuanya?
Dulu tak semua anak sekolah, sekarang orang tua mana yang tidak malu bila anaknya tak memperoleh pendidikan dini? Sejak masih balita, mereka sudah diajarkan membaca di PAUD. Lalu saat sudah besar, gengsi kadang meminta agar putra-putri belajar di tempat unggulan yang mahal.
Dulu mungkin orang sudah cukup senang bisa beli baju baru meskipun hanya sekali setahun saat menjelang lebaran. Sekarang, mungkin para orang tua sudah biasa mengajak anak mereka pergi ke butik dan distro sebulan hingga dua kali.
Lalu zaman sudah berubah. Budaya dan adat juga telah berganti. Banyak anak banyak rezeki sebenarnya bisa saja tak akan pernah kehilangan maknanya.
Kenyataan mungkin akan mengalahkan logika saat ada keluarga yang mencoba mendobrak kebiasaan, dengan masih memiliki sebuah keluarga besar di zaman modern ini. Bagaimana bila ternyata, semuanya bisa sekolah, semuanya dapat makan tiga kali sehari, dan semuanya tetap mendapatkan pakaian juga tempat tinggal yang layak.
Hanya saja mungkin banyak orang yang terlalu menuntut, hingga sebanyak apapun harta benda yang dimiliki akan terasa kurang. Rumah yang luas bertingkat pun jadi terasa sempit.
Karena tentunya makna rezeki bukan melulu tentang masalah materi. Kita bisa menemukan arti tersebut dalam banyak hal. Yang mungkin akan membuat kita tercengang, sebenarnya dalam penampilan yang sederhana ini, kita ternyata sangatlah kaya raya.
Rezeki itu kiranya subjektif. Dalam masalah harta benda mungkin ada yang memiliki nilai plus, sementara yang lain punya kelebihan dalam usia, lalu ada orang yang kaya raya dalam hal banyaknya amal baik, ada pula yang rezekinya berlimpah dalam ilmu pengetahuan luas yang dimilikinya, dan ada manusia yang beruntung perihal kesehatan.
Bukankah kita semua adalah orang-orang kaya? Sayangnya kadang kita telah mempersempit makna rezeki itu sendiri, dengan mengira kalau itu adalah uang, uang, dan uang...
***
Sekian. Selalu ingatkan jika saya salah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H